Satu orang lagi memilih untuk resign dari kewajibannya sebagai elector. Kalaupun akhirnya lobi yang dilakukan berhasil membujuk sejumlah elector yang cukup untuk tidak memilih Trump, belum tentu mereka akan memilih Hillary Clinton, tetapi cenderung memilih Mike Pence sebagai presiden. Oleh karena tidak terjadi mayoritas suara di Electoral College, maka Senate lah yang bertanggung jawab memilih presidennya. Sementara, House of Senate saat ini dikuasai oleh Republican. Tentu Hillary sama saja akan kalah.
Kedua, usaha recount juga diprediksikan tidak akan membuahkan hasil. Proses recount itu sendiri saja kemungkinan besar tidak akan selesai tepat pada waktunya. Kalaupun hasil recount menunjukkan bahwa Hillary Clinton yang memenangkan ketiga states tersebut, Hillary masih tidak memiliki jumlah electors yang cukup untuk memenangkan dirinya. Sepanjang sejarah pemilihan pejabat pemerintahan di AS, tidak lebih dari 10 kali proses recount berhasil mengubah hasil pemungutan suara. Kemenangan rata-rata hasil recount pun sangat tipis, yakni hanya sekitar 0,03%, dan itupun terjadi hanya di tingkat pemerintahan lokal. Alhasil, hampir impossible penghitungan suara ulang mampu mengubah hasil pemilu secara nasional.
Ketiga, dan ini yang paling penting, kestabilan negara menjadi hal utama yang jauh lebih diprioritaskan. Tim Transisi sudah dibuat segera setelah kemenangan Trump diumumkan dan tim ini telah mempersiapkan segala hal untuk kelancaran transisi dari pemerintahan Obama menuju pemerintahan baru Donald Trump, termasuk memilih staf-staf yang akan duduk dalam kabinet. Sang presiden terpilih juga telah berkomunikasi dengan berbagai pemimpin dunia untuk membahas isu-isu global yang sangat melibatkan AS sebagai pioneer utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H