Rakyat AS sampai sekarang banyak yang masih bingung siapa yang akan mereka pilih nanti pada general election 8 November 2016 mendatang. Tampaknya rakyat AS benar-benar harus memutar otak sedemikian rupa hanya untuk menggunakan hak pilihnya. Hillary Clinton, atau Donald Trump? Banyak media membuat istilah the choice between two evils. Jelas pilihan antara keduanya tidak mudah. Trump si maniak dan narcissistic, atau Clinton si pembohong kelas kakap dan the most reckless woman?
Para pendukung mantan kandidat Partai Demokrat Bernie Sanders seolah-olah terpecah-belah setelah beberapa hari yang lalu Sanders memutuskan untuk meng-endorse Hillary Clinton sebagai Presiden Amerika Serikat. Para pendukung Sanders merasa telah dikhianati oleh kandidat yang mereka banggakan itu. Mereka tidak habis pikir, mengapa Sanders yang dianggap sebagai kandidat yang paling jujur, merakyat, dan visioner ini justru "bertekuk lutut" di hadapan Clinton yang citranya sudah begitu negatif di tengah masyarakat AS.
Para loyalis Sanders memang sebagian besar berasal dari golongan pemuda yang memiliki daya pikir dan logika yang lebih baik daripada kaum dewasa lainnya. Mereka benar-benar melek akan kenyataan bahwa Hillary adalah seorang yang begitu korup, pembohong, ceroboh, bahkan gila. Begitu buruknya citra Hillary sampai-sampai ada beberapa konspirator yang mengatakan bahwa Hillary (dan Obama) adalah tokoh di balik berdirinya ISIS sebagai kekuatan terorisme terbesar di dunia saat ini. Oleh sebab itulah banyak Demokrat yang justru memilih untuk menjagokan Sanders. Namun sekarang Sanders malah mendukung Clinton sebagai presiden. Bagaimana pendukungnya tidak sakit hati?
Mengadopsi kebijakan New Deal yang diterapkan Presiden Franklin D. Roosevelt dalam menanggulangi The Great Depression yang melanda AS pada dekade 1930an, Stein membuat program Green New Deal yang bercita-cita meningkatkan lapangan kerja, dengan fokus di bidang energi yang dapat diperbarui sebelum tahun 2030, serta investasi pada public transit, agrikultura, dan konservasi, sesuai cita-cita Green Party. Stein juga menganggap pekerjaan, pendidikan, dan jaminan kesehatan sebagai hak wajib semua orang, dan Stein juga bercita-cita mengakhiri kemiskinan dengan menjamin hak asasi ekonomi.
Stein juga memperjuangkan keadilan sosial, perdamaian, dan hak asasi manusia. Stein bercita-cita menghilangkan segala bentuk diskriminasi, termasuk atas kaum LGBT, wanita, maupun ras tertentu. Stein ingin kembali "merebut" hak konstitusional, menutup Penjara Guantanamo, melegalisasi marijuana/hemp, Â dan menghentikan segala bentuk intervensi militer AS di luar negeri, termasuk terhadap Ukraina.
Yang lebih menghebohkan lagi, sebagai presiden Jill Stein akan mengampuni Edward Snowden dan bahkan menjadikan Snowden sebagai bagian dari kabinetnya. Stein menentang privatisasi sekolah, Obamacare, dan bahkan kebijakan-kebijakan militer Israel. Stein juga ingin menghapuskan segala bentuk utan pelajar.
Bila melihat program-program Jill Stein tersebut, tampaknya sangat progresif dan berpihak kepada rakyat. Namun mampukah sebenarnya Jill Stein mengalahkan Hillary Clinton dan Donald Trump?
Masalah kedua, meskipun seorang elector mampu memilih siapa saja, termasuk mendukung Jill Stein nantinya, 24 negara bagian menerapkan hukuman tertentu bagi faithless electors, para electors yang "berkhianat", maksudnya yang tidak memilih kandidat yang dulu pernah didukungnya. Jadi, sangat tidak mungkin seorang elector akan melanggar aturan ini, bila ia tidak ingin kehilangan pekerjaannya sebagai pejabat di negara bagiannya masing-masing.
Masalah ketiga, kandidat dari third-party sangat sulit untuk menyaingi kandidat dari dua partai besar utama. Partai selain Demokrat dan Republican, termasuk Green Party, tentu akan lebih kesulitan mendapatkan jumlah vote yang mampu menyaingi kandidat Demokrat maupun Republican. Kenyataannya, eksistensi partai kecil seperti Green Party hampir tidak pernah terlihat sama sekali. Data tidak berkata bohong sama sekali. Sebagai contoh, pada 2-012 lalu, Stein hanya mendapat 0.3% popular vote, dan tentunya dengan angka dukungan sekecil itu Stein tidak mampu mengusung elector dari Green Party. Selain itu, menurut sejarahnya, fenomena kandidat dari third-party yang berhasil finis di posisi kedua hanya terjadi pada tahun 1860 dan 1912. Kejadian di mana elector yang berasal dari third-party hanya terjadi pada tahun 1968.
Jadi, apakah Jill Stein mampu mengalahkan Hillary Clinton maupun Donald Trump? Tidak, sama sekali tidak. Meskipun banyak sekali orang yang menyatakan akan mendukung Jill Stein, kenyataannya dukungan terhadap Jill Stein masih kalah begitu jauh dibandingkan dukungan terhadap kandidat partai besar. Sehingga dapat disimpulkan, dukungan kepada Jill Stein sama saja merupakan bentuk "pemberontakan" rakyat terhadap Pemilu yang tidak memiliki kandidat dengan integritas yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H