Mohon tunggu...
Misbahuddin
Misbahuddin Mohon Tunggu... -

Saya Mahasiswa dari kota pamekasan yang kuliah di Universitas Islam Malang mengambil Jurusan Pendidikan Matematika. Di samping kuliah UNISMA saya juga kuliah di jurusan Pendidikan Agama Islam di UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Bernama Sekolah

21 Februari 2019   20:59 Diperbarui: 21 Februari 2019   21:04 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Misbahuddin*

Pendidikan selalu diidentikkan dengan sesuatu yang formal yang didalamnya terdiri dari perangkat kelembagaan. Ketika ada seorang yang belajar sendiri tentang sebuah keilmuan tertentu dan ia tidak pergi ke sebuah lembaga pendidikan maka ia disebut oleh sebagian kalangan orang yang tidak berpendidikan, atau bahkan disebutkan ia orang yang tidak sekolah.

Sekolah menjadi iman modern di abad 20 ini. Tanpa sekolah seseorang seakan putus harapan, seakan bernasib malang, seakan ia akan tertinggal zaman. Pendidikan bernama sekolah berhasil mengubah pola pikir manusia modern. Bahwa segalanya harus ada bukti tertulis. Bahwa kualitas manusia bergantung pada fase dan tingkat pendidikan. Pada pencapaian akademik formal, yang mampu mengubah nama lahir menjadi bergelar.

Sekolah semakin hari semakin menjadi-jadi. Bahkan berkembang menjadi ladang bisnis perekonomian. Berdalih mengejar ketertinggalan atas rentetan mata pelajaran di kelas. Sampai ia harus membayar dua kali lipat selain pembayaran di lembaga pendidikan. Mulai dari bisnis penjualan lembar kerja siswa, buku paket, les private, bimbingan belajar, jual beli seragam sampai alat tulis menulis.

Rintisan taman siswa oleh Ki Hadjar Dewantara sudah terkubur dalam tanah. Ide sekolah rakyat oleh Tan Malaka sudah tinggal kenangan. Bahkan perjuangan Kartini atas pendidikan perempuan hanyalah tinggal cerita. Pengaruh Hindia Belanda terhadap pendidikan yang berkembang di Indonesia memang tidak bisa dielakkan. Pendidikan berbasis kolonial telah menjadi sistem utuh yang sepertinya sulit dan mustahil untuk direformasi.

Kita sebagai pewaris dan anak cucu bangsa harus menerima dengan lapang dada dan tangisan air mata atas situasi pendidikan saat ini, yang mampu dirubah sistemnya oleh segelintir orang yang tidak akan ditemukan di buku sejarah. Mereka mengubahnya agar sekolah yang awalnya merdeka berpikir, bebas berkarya, belajar sesuka hati menjadi terkotak-kotak berbasis ketakutan, berbasis kurikulum dan aturan, berbasis paksaan untuk tahu semua hal.

Persepsi pengembang pendidikan bahwa "...manusia yang dipandang sebagai mahluk multiple intelegensi akan sangat rugi jika hanya mengetahui atau belajar apa yang ia suka." Sebagai insan "ahsani taqwim" atau sebaik-baik ciptaan memang memiliki kelebihan yang jauh daripada hewan dan tumbuhan bahkan dari malaikat sekalipun. Namun, kelebihan ini disalahgunakan penerapannya di dunia pendidikan formal bernama sekolah atau dalam bahasa Arab dikenal Madrasah. Daftar menu mata pelajaran yang membuat pembelajar merasa terbebani karena cara belajar menggunakan sistem paksa.

Patokan nilai akhir dan kenaikan kasta atau tingkat. Menjadi ancaman yang kuat. Saat ini, bahkan dari puluhan tahun silam sekolah sudah tidak lagi menjadi taman belajar, taman baca tulis, taman bermain yang menyenangkan. Tapi sudah menjadi ruang kediktatoran. Ruang belajar berdasar sistem paksa.

Paksaan demi paksaan antar satu mata pelajaran dan mata pelajaran yang lain tidak membuahkan hasil, ketika pada waktunya ia harus memilih satu dari sekian banyak mata pelajaran di bangku kuliah. Kemanakah kenangan belajar mata pelajaran yang begitu banyaknya itu, saat di bangku sekolah dasar dan menengah. Pendidikan tinggi juga tidak kalah membingungkan. Rentetan daftar mata kuliah yang seringkali tidak berhubungan dengan jurusan tidak ubahnya dengan rentetan mata pelajaran.

Anika ragam kampus, fakultas, dan jurusan tidak banyak yang membuahkan hasil untuk mereformasi. Karena masuknya di sebuah jurusan bukan berdasar keahlian dari ia sekolah dasar. Bisa karena paksaan orang tua, tuntutan pekerjaan, peluang kerja, dan kesempatan diterima. Kini sekolah bernama perguruan tinggi hanya mencetak satu paham, satu keahlian, satu mata pelajaran yang akan membimbing para pembelajar di sekolah dasar layaknya sewaktu sekolah dasar dan menengah dulu.

Keberadaan perguruan tinggi semakin menjadi ketakutan. Sesuatu yang harus dikejar habis-habisan. Agar nantinya bisa berubah sesuai cita-cita. Namun, ketika gelar diperoleh oleh satu jurusan, misalnya seorang sarjana pendidikan dari pendidikan agama Islam dan ia mengabdikan dirinya di sekolah, ia pun tidak ubahnya mengulang nasib pendidikan atas doktrin sistem paksa kepada murid-muridnya. Siklus ini akan terus berlangsung sampai kapan? Apa hasil yang kita bisa lihat dari siklus rentetan mata pelajaran ini?

Adalah olimpiade matematika untuk pakar bahasa? atau adakah lomba pidato untuk yang pintar fisika? Atau pertanyaan singkat adakah seseorang itu dikatakan matematikawan bagi yang tidak mengetahui secara dalam tentang matematika? Tentunya tidak mungkin.

Mata pelajaran yang satu dengan yang lain memang memiliki keterkaitan sendiri. Akan tetapi biarlah para pembelajar mengetahui keterkaitan itu dengan sendirinya, seiring minat dan dalamnya pengetahuan yang ia miliki. Memulai dari yang ia suka, mengakibatkan pengaruh besar atas apa yang ia capai. Tanpa lembaga pendidikan bernama sekolah, apabila seseorang belajar dengan tekun, berguru pada ahlinya, berdasar apapun yang suka, berapapun kesukaan atas bidangnya, atas izin Tuhan keberhasilannya akan lebih menjamin dibanding format pendidikan bernama sekolah saat ini. Hanya saja mungkin ia tidak akan dapat pengakuan sebelum pencapaiannya itu mampu memviralkan dunia.

Sekolahlah yang rajin, kerjarlah terus mimpi dan cita-cita melalui sekolah. Begitulah mindset sederhana anak negeri saat ini. Sangat miris, ketika ia sampai di sekolah, ia hanya bebas membaca komik, cerita, novel, buku bergambar saat waktu istirahat saja. Ruang ekspresi berupa taman dan kebun sudah tidak ada, apalagi tanaman dan sawah untuk belajar bercocok tanam. Sekolah seakan mengucilkan petani di sawah. Sejak dulu, siswa sudah menganggap bahwa bertani dan bercocok tanam sudah dianggap tradisional. Bagi manusia modern seakan menjadi keharusan untuk bercita-cita menjadi pejabat dan konglomerat.

Keterbatasan atas ketersedian lahan berpikir dan menerapkan apa yang pikirkan terbatas oleh ruang dan  waktu. Contoh kecil saja, jika kemuudian ditemukan ada seorang siswa yang menyimpang memegang buku bacaan selain dari apa yang sedang diajarkan guru maka di sanalah akan terjadi sistem paksa oleh sang guru. Untuk menghormati dan mentaati perintah guru agar meletakkan buku selain buku yang sedang berlangsung. Sekolah menjadi ruang ketakutan. Sekolah menjadi rayuan gombal untuk mengejar mimpi dan menjadi anak berbakti pada elite pendidikan.

Paparan semua itu mungkin tidak semuanya benar. Harapan atas keberadaan pendidikan bernamakan sekolah dari para orang tua ada di tangan elit pendidikan. Tanggung jawab pemerintah, kementerian dan dinas-dinas pendidikan harus terus mengedepankan kerakyatan, kemanusiaan, pelestarian lingkungan dan alam sekitar. Guru sebagai pemilik amanah dan tanggung jawab besar harus dipenuhi kesejahteraannya agar ia mampu totalitas mengabdi sebagai pengajar, tanpa harus berburu gaji sendiri.

Sistem sekolah yang sudah terlanjur seperti ini menjadi harapan bersama, jika guru terus berinovasi membuat siswa tidak takut untuk belajar. Jika lembaga pendidikan kita terus bergerak untuk membuat siswa nyaman dan kerasan belajar. Jika antar elemen lembaga pendidikan saling mendukung dan berupaya membuat suasana yang tidak membebani para pembelajar dan para pengajar. Guru bisa senang mengajar dan berbagi, begitupun siswa merasa senang belajar. Maka akhir dari tulisan ini, seorang guru boleh berhenti sekolah formal tapi jangan berhenti belajar agar dapat ditularkan kepada pembelajar. Guru tidak boleh malu apalagi enggan dan bermalas-malasanan untuk duduk bersama berdiskusi dan untuk membudayakan membaca buku.

Wallahu a'lam bishshowab.

*Guru MI Kalifa Nusantara Denpasar

Denpasar, 21 Februari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun