Adalah olimpiade matematika untuk pakar bahasa? atau adakah lomba pidato untuk yang pintar fisika? Atau pertanyaan singkat adakah seseorang itu dikatakan matematikawan bagi yang tidak mengetahui secara dalam tentang matematika? Tentunya tidak mungkin.
Mata pelajaran yang satu dengan yang lain memang memiliki keterkaitan sendiri. Akan tetapi biarlah para pembelajar mengetahui keterkaitan itu dengan sendirinya, seiring minat dan dalamnya pengetahuan yang ia miliki. Memulai dari yang ia suka, mengakibatkan pengaruh besar atas apa yang ia capai. Tanpa lembaga pendidikan bernama sekolah, apabila seseorang belajar dengan tekun, berguru pada ahlinya, berdasar apapun yang suka, berapapun kesukaan atas bidangnya, atas izin Tuhan keberhasilannya akan lebih menjamin dibanding format pendidikan bernama sekolah saat ini. Hanya saja mungkin ia tidak akan dapat pengakuan sebelum pencapaiannya itu mampu memviralkan dunia.
Sekolahlah yang rajin, kerjarlah terus mimpi dan cita-cita melalui sekolah. Begitulah mindset sederhana anak negeri saat ini. Sangat miris, ketika ia sampai di sekolah, ia hanya bebas membaca komik, cerita, novel, buku bergambar saat waktu istirahat saja. Ruang ekspresi berupa taman dan kebun sudah tidak ada, apalagi tanaman dan sawah untuk belajar bercocok tanam. Sekolah seakan mengucilkan petani di sawah. Sejak dulu, siswa sudah menganggap bahwa bertani dan bercocok tanam sudah dianggap tradisional. Bagi manusia modern seakan menjadi keharusan untuk bercita-cita menjadi pejabat dan konglomerat.
Keterbatasan atas ketersedian lahan berpikir dan menerapkan apa yang pikirkan terbatas oleh ruang dan  waktu. Contoh kecil saja, jika kemuudian ditemukan ada seorang siswa yang menyimpang memegang buku bacaan selain dari apa yang sedang diajarkan guru maka di sanalah akan terjadi sistem paksa oleh sang guru. Untuk menghormati dan mentaati perintah guru agar meletakkan buku selain buku yang sedang berlangsung. Sekolah menjadi ruang ketakutan. Sekolah menjadi rayuan gombal untuk mengejar mimpi dan menjadi anak berbakti pada elite pendidikan.
Paparan semua itu mungkin tidak semuanya benar. Harapan atas keberadaan pendidikan bernamakan sekolah dari para orang tua ada di tangan elit pendidikan. Tanggung jawab pemerintah, kementerian dan dinas-dinas pendidikan harus terus mengedepankan kerakyatan, kemanusiaan, pelestarian lingkungan dan alam sekitar. Guru sebagai pemilik amanah dan tanggung jawab besar harus dipenuhi kesejahteraannya agar ia mampu totalitas mengabdi sebagai pengajar, tanpa harus berburu gaji sendiri.
Sistem sekolah yang sudah terlanjur seperti ini menjadi harapan bersama, jika guru terus berinovasi membuat siswa tidak takut untuk belajar. Jika lembaga pendidikan kita terus bergerak untuk membuat siswa nyaman dan kerasan belajar. Jika antar elemen lembaga pendidikan saling mendukung dan berupaya membuat suasana yang tidak membebani para pembelajar dan para pengajar. Guru bisa senang mengajar dan berbagi, begitupun siswa merasa senang belajar. Maka akhir dari tulisan ini, seorang guru boleh berhenti sekolah formal tapi jangan berhenti belajar agar dapat ditularkan kepada pembelajar. Guru tidak boleh malu apalagi enggan dan bermalas-malasanan untuk duduk bersama berdiskusi dan untuk membudayakan membaca buku.
Wallahu a'lam bishshowab.
*Guru MI Kalifa Nusantara Denpasar
Denpasar, 21 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H