Selamat mengawali pekan, Ayah Bunda yang dirahmati Allah.
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Dalam kondisi belum mampu bijak menyikapi, biasanya kita akan terjebak dalam kegalauan, manakala mendapatkan sebuah pengetahuan. Contohnya? Kita dibuat galau dan sersa salah, saat idealisme tentang pendidikan anak itu kita dapatkan satu demi satu. Bisa jadi dari mendengarkan dari sebuah kelas seminar, bisa jadi dari membaca sebuah artikel, atau bisa jadi dari sekadar tulisan yang tampil di beranda sosial media.
Efek dari kegalauan itu kemudan menjelma rasa takpercaya kepada beberapa pihak.
- Tidak percaya kepada Nenek dan Kakeknya anak-anak
- Tidak percaya kepada Teteh ART (khadimat)
- Tidak percaya kepada pihak sekolah
- Bahkan tidak percaya kepada pasangan
- Dan kepada caregiver lainnya yang ada hubungan dengan anak kita.
Lalu apa yang membuat diri tak percaya kepada orang-orang yang ada hubungannya dengan anak kita? Karena kita menganggap kita sudah benar (tepat), sedangkan mereka belum. Padahal, anggapan "benar" menurut kita itu baru sebatas modal mendengarkan, alias belum sampai tingkat pemahaman. Karena idealnya, tambahan ilmu pengetahuan yang kita dapat, tidak seharusnya dijadikan pijakan untuk menyalahkan orang-orang sekitar.
Misalnya:
- "Kalau saya kan berusaha untuk tidak mengikuti semua keinginan anak, sedangkan kalau Nenek dan Kakeknya mah serba boleh."
- "Kalau saya kan bicara kepada anak itu sudah menggunakan bahasa sugesti, sedangkan Nenek Kakenya mah, masih menggunakan bahasa-bahasa penghakiman."
- "Kalau saya kan, biacara kepada anak itu siupayakan menggunakan kata-kata yagn tepat dan tidak ikut-ikutan cadel. Tapi kalau mereka mah, ketika anak cadel itu ya ikutan cadel juga. Itu kan salah."
Mmmmm. Baiklah. Tenangkan jiwa sejenak yuk. Tak harus merasa benar dalam kondisi diri yang masih harus banyak belajar.
Mengarak dan berharap orang agar seratus persen sama dengan pola mendidik dan pola berkomunikasi yang biasa kita gunakan, itu bukan perkara mudah. Ada proses mengingatkan yang perlu ditakar "tekniknya". So, tak perlu terburu "nafsu" untuk mengingatkan, melainkan berikan pola-pola mencontohkan yang enak untuk diadaptasi orang-orang sekeliling kita. Karena secara fitrah, tak setiap orang siap untuk disalahkan. Tak setiap orang juga, berkenan untuk minta berubah dalam kurun yang secepat kilat.
Bicara soal pengasuhan, kadang kita juga terjebak utuk membandingkan. Membandingkan antara pengasuhan orang tua kita zaman dulu dengan pengasuhan kita hari ini. Kita berpikir bahwa orang tua dulu itu terlalu kolot. Terlalu konservatif. Sedangkan kita menganggap pengasuhan hari ini itu lebih bijak, lebih edukatif, lebih religius.
Bayangkan. Orang tua kita dulu, khususnya orang Priangan. Tidakkah mereka itu mengasuh dengan religiusitas? Mereka menggunakan siloka/filosofi PAMALI untuk memberikan reminder terbaik kepada kita. Hanya saja, mereka menggunakan pembahasaan yang INDIRECT. Pembahasaan yang butuh pemaknaan.