Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Akrabkan Anak Kita pada Beban, agar Mereka Tangguh dan Bertahan

10 Maret 2022   13:08 Diperbarui: 10 Maret 2022   14:29 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dasarnya, pekerjaan rumah itu menjadi sangat ringan jika terbagi secara bijak. Contoh, si sulung yang berusia 7 tahun bisa kita minta dia untuk punya bagian mengangkat jemuran. Si Adik yang masih berusia 4 tahun, bisa kita minta dia untuk membuang sampah ke penampungan di sekitar rumah. Namun syaratnya adalah harus dideklarasikan. Karena mereka akan memiliki rasa bangga tersendiri ketika memiliki "surat keputusan" khusus, meski disampaikan secara lisan. Dengan cara seperti ini, layaknya sebuah alarm, mereka akan refeks dengan jadwal yang harus mereka lakukan.

6. Libatkan dalam Sebuah Persoalan

Mengeluh di hadapan anak memang tak layak. Namun kita bisa mendewasakan mereka dengan cara mengkomunikasikan perkara yang tengah kita hadapi. Mungkin tak perlu seluruhnya secara gamblang atau secara verbal. Cukup sampai dia mengerti bahwa kita sedang tidak bisa sekehendak saat menginginkan sesuatu. Pada poin ini, saya juga sempat menyaksikan sepasang suami istri yang pada saat itu harus pindah rumah, karena rumah cukup megah yang ditempatinya harus dijual untuk memenuhi utang. 

Sebelum benar-benar pindah, ketiga anaknya dikumpulkan dan diajak ngobrol bahwa untuk sementara waktu mereka akan tinggal di sebuah rumah dengan kondisi cukup terbatas. Takjubnya, kalimat itu tetap disampaikan dengan sangat optimis meski utang berat tengah melilitnya. 

Dan tak sampai menunggu lima tahun, mereka kembali ke rumah idamannya setelah doa-doa malam mereka panjatkan. Satu pelajaran yang berharga dari poin adalah bahwa realita hidup itu perlu dikenalkan. Meski hanya sebuah cerita. Dan saat menghadapi fakta yang sebenarnya, biarkan anak-anak kita merasakan sebuah rasa bernama pahit.  Rasa yang tak diharapkan namun membutuhkan cara untuk dinikmati dengan nilai berharga bernama qana'ah.

7. Kenalkan Padanya Hukum Sebab Akibat

Yakinkan pada anak kita bahwa setiap keputusan yang kita ambil tentu diikuti dengan resikonya masing-masing. Maka mintalah mereka menabung untuk memenuhi salah satu impiannya. Ketika suatu hari mereka menginginkan sepeda, ajaklah terlebih dahuu untuk menabung. Paling tidak, mereka bisa merasakan sebuah perjuangan dalam mendapatan sesuatu. Terkait poin ini, saya sempat melihat raut muka putra sulung saya yang tampak gelisah dan tak nyaman. 

Ia berada dalam antrian wahana kuda tunggang di sebuah tempat wisata keuarga. Hampir satu jam ia berdiri dan berjalan perlahan untuk sampai pada pemberhentian kuda. Merespons ketidaknyamanan dalam raut mukanya, saya menghampiri dan berbisik ; "Sebentar lagi, insyaAllah. Yang lain juga rela mengantri." Hal ini sy lakukan, tidak lain untuk memahamkan dirinya bahwa resiko mengantri dan menunggu lama adalah konsekuensi dari sebuah keinginan.

Ayah Bunda. Semoga setiap ikhtiar kita tak ada yang sia-sia. Bahkan sesederhana membiasakan mereka menyimpan kembali mainan pada tempatnya sekalipun, adalah bagian dari rangkaian pendewasaan. Apalagi jika kita renungi seberapa berat beban atau ujian masa depan. Tentu butuh persiapan yang tak sederhana. Maka kita butuh profil anak-anak yang siap hadapi tantangan. Bukan profil yang sangat mudah berkata malas dan ringan berkata bosan. Dan kita perlu tahu bagaimana akibat buruknya, jika mereka terbiasa kita perlakukan dengan serba nyaman. Kita akan merasakan dampak buruknya di kemudian hari ketika kita terbiasa menyuapinya sampai besar. Kita juga akan direpotkan untuk memenuhi semua keinginannya yang tidak bisa ditunda, akibat terlalu asyik memfasilitasi mereka dengan apa saja yang mereka minta. 

Sebagai refleksi, kiranya kita perlu mengingat keshalihan Ismail saat hadapi keputusan penyembelihan. Sadar bahwa dia haus pasrah pada perintah Allah, ia berulangkali memastikan sang ayah tercinta untuk tak ragu mengeksekusi perintah sang Tuhan. Bahkan ia menelungkupkan badannya supaya sang Ayah tak berat menyaksikan ekspresi wajahnya saat meregang nyawa. Ini peristiwa yang sangat menakjubkan. Bukti ketaatan seorang Ayah dan kemengertian seorang anak akan beban perasaan orang tua.

Demikian yang saya bagikan pada edisi kali ini. Salam tangguh untuk Ananda. Alloohu 'alam bish showaab. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun