Dear Ayah Bunda.. Semoga kabar terbaik selalu menyertai kita. Semoga kekuatan imanlah yang membuat kita semakin mampu memberikan pengasuhan terbaik.
Ayah Bunda yang bahagia. Rasulullah Saw tampil sebagai figur di muka bumi. Seorang selebriti idaman yang dijaminkan Allah SWT untuk nikmati surga dengan cuma-cuma. Namun kita tahu bahwa kebahagiaan masa kecilnya tak begitu sempurna. Penderitaan menderanya secara bertangga-tangga. Mulai dari ditinggalkan Ayah tercinta menghadap Yang Maha Kuasa, ditinggalkan pula oleh sang Bunda beberapa kurun kemudian, hingga menjalani kisah yatim piatu bersama segudang cerita yang menguras air mata.
Siapa mengira, jika sang Muhammad yang sempat hidup menjajakan jualan ke pasar-pasar, tumbuh dewasa sebagai sosok yang menginpirasi dunia. Siapa pula yang mengira bahwa liku-liku masa kecilnya mengantarkan beliau sebagai manusia utama yang membawa risalah sebuah agama besar. Islam rahmatal lil 'aalamiin.
Jika meminjam istilah Paul G. Stoltz, PhD. dalam bukunya Adversity Quotient, maka rasulullah Saw adalah sebenar-benarnya climber. Beliau bukan manusia yang berada pada level camper apalagi quitter. Climber itu istilah yang diberikan kepada mereka yang berjibaku meraih impian. Sementara camper adalah istilah bagi mereka yang sudah mencoba berusaha, namun memutuskan untuk berhenti karena alasan lelah, jemu, skit hati, atau alasan lain yang sebetulnya tidak begitu prinsip.Â
Dan quitter adalah istilah untuk mengkategorikan orang-orang yang tidak punya inisiatif, malas berusaha, berharap secara pragmatis dan memilih diam dari ajakan untuk turut berkontribusi. Barangkali kisah Ka'ab bin Malik yang sempat di didiamkan selama empat puluh hari oleh Rasul dan sahabat, adalah karena Ka'ab lebih memilih menjadi quitter pada saat Perang Tabuk diserukan. Sementara orang-orang bersegera dengan jihad yang mengangkasa.
Ayah Bunda...Â
Banyak pelajaran berharga terkait nilai ketangguhan bagi anak-anak kita. Dan anak-anak Palestina adalah sosok-sosok yang menunjukkan pada dunia tentang kekuatan jiwa mereka. Mereka jauh sekali dari beberapa mental yang kita kenal dengan istilah ngeyel, manja, mundur sebelum bertempur, cepat lelah, cepat bosan dan berpangku tangan. Darah yang berhamburan di sekitar penglihatannya, membuat mereka lebih bertahan dan tak lagi merasa berdebar. Mustahil bagi mereka untuk jatuh pingsan saat melihat tumpahan darah.Â
Musuh-musuh yang berlalu lalang dengan persenjataan legkap, menjadikan anak-anak hebat itu tak lagi merasa gentar dan semakin bertambah energi untuk bersikap berani. Apapun, berani mereka lakukan untuk menghadiahkan sebuah perawanabn. Melempar batu, salah satu yang mereka buktikan untuk memerdekakan negerinya. Pun dengan kondisi terbatas yang sangat familiar, membentuk mereka untuk lebih cepat dewasa dan tak banyak merajuk pada orangtuanya.
Kita memang tak berharap untuk dicabut rasa tenang dan tentram dari hidup kita, sehingga kita bisa menjadi lebih tangguh. Kita juga sangat tak berharap dan tak mau menunggu saat dimana Allah kurangi keberlimpahan harta kita. Karena PR besar kita sebagai orangtua adalah bagaimana menjamin anak-anak kita tetap berjiwa tangguh meski dalam kelengkapan dan kenikmatan yang ada. Bagiamana membentuk mereka untuk tahan banting bukan bukan berada pada kondisi yang sulit atau memprihatinkan.
Kiranya kita juga perlu miris saat ada sepasang orangtua yang sengaja mendaftarkan putrinya untuk sekolah di luar negeri, lebih karena alasan supaya bersedia mencuci piring. Karena di luar negeri sana harus serba melayani sendiri. Tak bisa menyimpan pembantu di tempat kost. Dan untuk berangkat kemana-manpun pun harus menggunakan transportasi publik.Â