Namun alhamdulillah. Sejalan dengan prasangka baik bahwa mereka bisa berubah dan kembali melunak, ketiganya dapat beraktivitas di sekolah kami dengan nyaman dan betah.Â
Yang kami lakukan pun cukup sederhana, yakni menerimanya, memeluknya, berbicara dari hati ke hati, serta melibatkan para siswa yang ada untuk melakukan pendampingan atau peer guidance.Â
Bahkan beberapa saat sebelum anak baru itu berktivitas di sekolah kami, yang pertama kali lakukan adalah memahamkan siswa yang ada untuk dapat menerima teman baru dengan segala kekurangan dan kelebihan.Â
Alhasil, pendampingan dan pendekatan bukan hanya dari para guru, melainkan dari para siswa yang melakukannya secara sukarela dan satu suara (satu tujuan yang sama untuk memberi kenyamanan pada teman baru).
Diantara ketiga kasus tersebut, bukan saja munculnya rasa trauma pada anak, melainkan pada orangtuanya sendiri. Apa sebab?Â
Karena masa-masa kecil yang sejatinya mendapat perhatian, kasih sayang, suasana riang gembira dan pengakuan dari orang sekitar, malah dihadiahi dengan perlakuan yang sangat tidak berkenan.
Bila diukur dari dalamnya rasa sakit hati, kasus dari ketiga siswa tersebut tak ubahnya child abuse. Bedanya, child abuse itu biasa dilakukan oleh orang tua sendiri atau orang-orang terdekat dengan bentuk khas berupa penyiksaan fisik.Â
Contohnya, kasus Ari Hanggara yang disiksa oleh ayah kandung dan ibu tirinya hingga nyawanya terenggut. Bahkan kasusnya diangkat ke layar lebar dan familiar di seantero Indonesia.Â
Dalam konteks kekinian, child  abuse terjadi pada kematian Angeline yang juga berakhir maut di tangan skenerio ibu angkatnya sendiri.
Sementara, child abuse yang kini saya utarakan, terjadi pada sebuah lingkungan atau lembaga formal berpayung edukasi yang dilakukan oleh para pendidiknya sendiri.Â
Memang ironis. Bahkan sangat ironis. Lembaga yang sehrusnya menaungi dan megawal perubahan mental menuju terbaik, malah berujung pada keterpurukan mental bernama TRAUMA.