Ini berkait dengan bab musik religi dan hijab. Seolah kisruh rumah tangga Ayus Sabyan dianggap ikon rendahnya wibawa umat Islam. Seolah umat muslim dicederai oleh musisi gambus tersebut.Â
Padahal, betapa melimpah ketertindasan umat muslim yang justru dihadapi dengan sangat "senyap" oleh sebagian banyak orang yang tak respek. Maka haruskah kita terbawa emosi oleh mulut netizen Indonesia yang konon menurut sebuah penelitian dianggap paling tidak santun se-Asia Tenggara?Â
Sedangkan keadilan hukum negara kita terhadap perang opini di media sosial, masih belum bisa tegak hingga hari ini. Ada orang yang sama-sama melontarkan kalimat tajam di media sosial, namun diperlakukan dengan berbeda hanya karena faktor kecenderungan politik dan sejenisnya.Â
Sehingga ada orang atau pihak yang dipenjarakan tersebab kritiknya dianggap terlalu pedas, namun ada yang dianggurkan begitu saja dan diselamatkan dari ancaman penangkapan.
Kelima, tentang rendahnya sikap literat.
Cerdas mencerna berita memang harus dihadapi dengan latihan panjang. Kebiasaan nyinyir secara manual, tanpa sadar telah terbawa ke dalam konteks digital. Kebiasaan berkomentar dengan minimnya analisis, tanpa sadar terbawa pula dalam perilaku bermedsos. Termasuk kegagahan dan kekuasaan netizen dalam mengomentari hal sangat privat seperti yang terjadi pada Ayus dan Nisa Sabyan.Â
Bahkan saat saya menulis keresahan ini pun, pikiran saya berselancar dengan liar berupa tafakur tentang rendahnya literasi bangsa kita. Bangsa dengan gerbong besar penuh PR.
Wallohu'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H