Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Orangtua, Sebuah Proses Belajar yang Tak Pernah Sudah

18 Juli 2020   00:10 Diperbarui: 18 Juli 2020   00:06 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Boleh jadi, orang berkomentar terhadap apa yang kita lakukan kita sehari-hari, (sesuai fokus atau bidang kita masing-masing).

Kita yang hari ini adalah aktivis organisasi, bukan tak ada komentar dari sisi kanan kiri depan belakang yang menyatakan bahwa kita belum tentu "beres" mengurusi keluarga.

Kita yang hari ini berpredikat guru, bukan tak ada juga gumam-gumam orang sekitar yang mengomentari kita sebagai guru yang belum tentu telah "benar" mendidik anak sendiri.

Kita yang hari ini tukang nulis status positif, bukan tak ada pula nada miring yang menyebutkan bahwa pribadi kita belum tentu sesuai dengan retorika yang kita tulis dan kita bagikan di dinding sosial media.

Pun kita yang yang punya sekian jama'ah majelis taklim di masjid atau madrasah yang kita bina. Bukan tak ada riuh pertanyaan atas kondisi keluarga kita. Singkatnya, kita dianggap mendakwahi orang lain namun belum tentu telah berhasil mendakwahi keluarga kita sendiri.

Dan kita yang hari ini tertakdir berbicara dan berbagi spirit kebaikan di hadapan para audiens. Bukan tak ada orang yang menganggap langkah kita sebagai langkah yang levelnya baru sebatas bungkus alias sekadar "casing" alias belum tentu sesuai dengan keseharian kita di keluarga.

Namun di luar itu semua. Fitrah setiap diri yang ingin berbagi kebaikan untuk orang lain, tentunya akan BERBANDING LURUS dengan ekspektasi untuk memperbaiki diri. Atau dalam istilah lain, "mengajak kebaikan pada orang lain, biasanya (included) mengajak kebaikan pada diri sendiri". Atau dalam istilah lain lagi, "memotivasi orang lain untuk memotivasi diri sendiri". Ini sangat fitrah bagi manusia.

Singkatnya, ini persoalan hati. Persoalan niat. Dan akan sangat sedikit, orang dengan niat sekadar narsis atau sekadar pencitraan atau sekadar retoris, BILA DIBANDINGKAN dengan orang yang memang berbuat dengan hati yang tulus dan tujuan yang benar. Bahkan seburuk apapun hasil yang mengemuka. Kita tak punya hak untuk menghakimi niat baik orang lain sebagai sebuah "motif" atau sebagai sebuah pencitraan.

Dan filosofi berbuat baik atau berbagi kebaikan ini adalah filosofi "menjadi orang tua".

Menjadi orang tua, rata-rata kita, relatif tanpa bekal bahkan bisa dikatakan spekulasi. Kita tak belajar secara khusus bagaimana melayani pasangan dengan baik dan benar. Tak pernah pula belajar secara khusus tentang bagaimana mendidik anak dengan visioner dan terstruktur. Bahkan untuk printilan wawasan terkait teknik-teknik menghadapi buah hati dengan segala dinamika.

Rata-rata kita menjadi orang tua adalah LEARNING BY DOING. Belajar sambil praktik langsung (di lapangan). Bahkan langsung bersama kasusnya, langsung bersama problemnya. Maka wajar pula, bila di tengah jalan terjadi TRIAL AND ERROR.

Dan itulah KAWAH CANDRADIMUKA. Kawah belajar kita yang memang tanpa batas. Tanpa batas berakhirnya. Bahkan tanpa jeda.

Saat hari pertama kita menghadapi bayi merah yang Allah karuniakan, kita belajar setengah mati tentang bagaimana menggendong, menimang, menidurkan, memandikan. 

Saat anak kita beranjak dan bertambah usia, kita pun mencerna segala sikap dan kebiasaannya plus belajar tentang bagaimana menghadapinya. Pun saat mereka beranjak pada masa transisi dari anak-anak ke remaja atau dari remaja ke dewasa. Semua proses kita lampaui, tanpa mengenyampingkan "proses belajar".

Artinya, disadari atau tidak, dengan menyengaja atau tidak, hakikat kita menghadapi anak adalah proses belajar.

Maka apalah lagi pada hari ini, di zaman ini, paradigma pendidikan anak dibuka dan diantarkan sebanyak-banyaknya melalui buku-buku pengasuhan dan keluarga, atau melalui ruang-ruang seminar, baik di ruang maya maupun nyata. Dan pada hari ini, berfastabiqul khairat untuk menjadi orang tua terbaik pun, bisa kita rasakan atmosfernya.

Mahasuci Allah. DI depan mata, teronggok tugas tak sederhana. Mendidik anak. Tugas yang tak bisa dengan mudahnya kita mencibir atau meanggap kecil terhadap pola pengasuhan yang dilakukan oleh orang-orang di sekeliling kita. Dan kita tak bisa pula mendeklarasi bahwa pola pengasuhan yang kita lakukanlah yang paling benar.

Apapun pola yang kita miliki, apapun teknik yang kita kuasai, sandaran kita hanya satu. Allah SWT. Bahkan sebanyak apapun teori  di mana kita cakap memahaminya. Tetap hanya Allah satu-satunya. Tempat kita menitipkan iman islamnya generasi kita.

Karena memang kita hanyalah prajurit. Kita hanya pelaksana di mana kewajibannya adalah belajar. Belajar berusaha untuk baik dan benar. Baik dan benar dari sisi niat (visi dan misi). Juga baik dan benar dari sisi cara (eksekusi, breakdown, teknik, dan lain-lain).

Jika harus jujur, saya pun sebetulnya sembari beristighfar setiap kali saya "berbicara" pengasuhan, baik di panggung seminar maupun lewat tulisan di beranda sosmed. Karena saya sadar bahwa diri ini pun belum tentu benar.

Namun saya masih bersyukur dengan dasar hati yang insyaAllah senantiasa menggumamkan JARIYAH. Bahwa dengan berbagi kebaikan kepada orang lain, insyaAllah menjadi ladang pahala untuk saya pribadi maupun untuk keluarga, bahkan untuk orang-orang yang ada di ruang aktivitas saya.

Dan kembali bersyukur. Saat sekian orang di setiap kali saya memberi energi pengasuhan, selalu ada sekian peserta yang dengan "bapernya" berucap terima kasih atau menyatakan "penyesalan diri" atas kesalahan yang telah lalu dalam menghadapi/menyikapi anak-anak. Bagi saya, itulah sugesti positif yang membangunkan jiwa ini untuk tetap terjaga dalam memberikan teladan terbaik bagi anak-anak. Semampu yang diri ini bisa lakukan. Sekuat apa yang diri ini mampu contohkan.

Wallohu'alam bishshowaab.

Semoga Allah SWT senantiasa memudahkan urusan kita. Peluk hangat untuk buah hati tercinta. Tetap optimistis bahwa masa pembelajaran di rumah seperti sekarang ini, bukanlah sebuah drama yang bisa kita banggakan kesulitannya. Karena ini hanya bagian dari UJIAN SUGESTI. Apakah kita masih bisa wajar menghadapinya, apakah kita merasa "give up", atau apakah kita terbawa oleh sindiran sebagian yang berpendapat tentang "tak mestinya memilih sekolah".

Memang benar, bahwa kita adalah madrasah utama bagi anak-anak. Namun tak berarti bahwa kita menganggap tak merasa perlu dengan adanya ANDIL lembaga pendidikan.

Karena hakikat hidup adalah pilihan. Sama halnya dengan membuka ladang mata pencaharian. Sekian lembaga pendidikan yang ada, betapa telah menyguhkan SUMBANGSIH kepada negara dengan mendidik generasi dari angkatan ke angkatan. Pun dari sisi ekonomi. Bagaimana lembaga pendidikan telah menjadi pundi-pundi kehidupan di mana sekian SDM memiliki hak insentif dan hak aktualisasi.

Perkara hari ini kita secara bersama dihadiahi oleh Allah dengan musibah covid-19, tanpa sadar adalah sebagai sebuah ISYARAT bagi kita untuk menjadi guru dan menjadi orang tua yang berkrreativitas dan berinovasi tanpa batas.

Salam khidmat untuk para orang tua hebat di mana pun berada. Salam perjuangan untuk para insan pendidikan yang "berjibakunya" kita hari ini tak mesti berpangku tangan pada pujian. Melainkan berupaya sepenuh sadar memikirkan nasib sekian generasi, di mana kita tertakdir MENGAMPU amanah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun