oleh: Miarti Yoga
Jujur. Sangat geli. Sangat terganggu. Saat mencoba meng-klik tautan youtube yang menyuguhkan video mukbang (video tentang ulasan produk makanan/minuman).
Seorang youtuber (mohon maaf menyebut nama) bernama Rahmawati Kekeyi Putri Cantika, secara berulang membuat konten video mukbang. Ada yang tengah memakan sekian puluh bakso secara sekaligus (bahan tanpa dikunyah), memakan kue sekian puluh potong tanpa henti langsung telan, dan pola makan dengan cara ekstrem lainnya.
Sebagai ibu, sebagai guru, saya hanya tercekat dan menelan ludah. Sambil bertanya dalam hati, mau dibawa ke manakah anak-anak kita? Patutkah diberi contoh cara makan demikian? Sedangkan keberadaan jumlah subscriber dari sang youtuber tersebut telah mencapai 1.04 juta.
Pun melalui lagu yang dibawakannya yang berjudul "Keke Bukan Boneka" (mohon maaf, jauh sekali dari kualitas), sempat hingga menempati posisi pertama di jagat youtube dan ditonton sebanyak 38 juta kali. Angka yang fantastis. Yang pada diri artis atau selebriti sekalipun, belum tentu menembus angka tersebut.
Sebagai orang yang menikmati seni, menikmati lagu, saya merasa "iba" terhadap para seniman atau kepada para penyanyi dengan kapasitas yang mumpuni, yang kompeten (baik dari sisi teori maupun keseharian di lapangan). Kapasitasnya seolah "dilecehkan" oleh hadirnya karya yang jauh sekali dari validasi alias "ngasal" alias "yang penting manggung" alias yang penting ditonton sekian juta warganet.
Sedangkan lagu "Keke Bukan Boneka" yang sempat trending itu, murni hanya "mengantarkan" narsisme. Nyaris tanpa nilai. Kalaupun tujuannya menghibur, tetap tak normatif.
Berbicara Kekeyi yang sebetulnya sudah berumur namun sekelebat seperti anak kecil, saya tak bermaksud "RASIS" sama sekali. Apalah lagi "body shaming". Saya sadar betul dengan tinggi badan saya dan aksen fisik lainnya. Bukanlah perempuan sempurna dengan segala kemenarikan. Jauh. Jauh sekali.
Namun saat mencermati sang youtuber --Kekeyi-, sayang betul rasanya negeri ini diberikan kiblat idola dengan ranah ALAY.
Memang tak bisa dipungkiri. Setiap kita butuh hiburan. Bahkan hal-hal yang sifatya "alay" sekalipun, menjadi konsumsi hiburan untuk masyarakat di negara kita. Bahkan seorang polisi Norman Kamaru saja sekian tahun lalu menjadi viral tersebab sebuah joget yang -sebetulnya- biasa-biasa saja.
Demikian pula dengan seorang penyanyi dangdut yang telah salah mengucapkan butir Pancasila, lantas didaulat menjadi Duta Pancasila.
Ah, sungguh kening ini berkerut. Apa motifnya kira-kira, orang yang salah melafalkan landasan yang begitu sakral bagi negara, malah dijadikan ikon. Nilainya di mana? Haruskah negeri ini mendapat julukan sebagai Negeri Narsis Kronis?
Menyedihkan sangat. Atas ketersediaan idola bagi anak-anak kita. Belum lagi jamuan-jamuan berita yang menghadirkan informasi "sangat receh". Dan bukan hanya receh, melainkan warta tentang borjunya para idola. Padahal negeri ini jelas-jelas berada pada krisis.
Boleh kita lihat, contoh headline yang ditautkan pada dinding sosial media.
* Dapurnya Artis A yang Bergaya Klasik, Bikin Salfok
* 10 Artis yang Tak Sungkan Bermain Peran Bersama Mantan
* Salfok dengan Aquarium Milik Artis C yang Menjadi Dinding Ruang Tamu
* Artis D Blak-blakan Urusan Ranjang
Sebuah paradoks. Sebuah anomali. Di saat negara kita butuh gagasan dan butuh solusi, ini malah disuguhi berita yang tidak penting.
Bahkan bukan tak ada, orang dengan sangat "niat" berkomentar dengan cukup keras. Ada yang menghujat, ada yang menyindir, dan ada pula yang membela habis-habisan.
Uniknya lagi, dia yang membela dengan sangat fanatik, rata-rata berujar bahwa "Semangat guys. Semakin dibulyy semakin banyak rizki."
Dan betapa maha benarnya para netizen di negeri enam dua. Berkomentar seolah paling benar. Membela sang idola begitu subjektifnya. Mendukung sang pujaan (meski sang pujaan jelas kekurangan atau kesalahannya), benar-benar tak ada batas.
Dan kalau ditakar secara psikologis, nampak para netizen alias komentator itu bak pengangguran. Tak ada kerjaan. Karena jika saja mereka (para netizen itu) orang sibuk, produktif berkarya A dan B, rasanya tak mungkin menulis komentar recehan di kolom yang tersedia di akun-akun para selebgram dan sejenisnya.
Sangat benar memang, bila dikatakan bahwa negeri kita mengalami krisis idola.
Maka ini menjadi jalan juang tersendiri bagi kita para orang tua dan para guru. Sepertinya memang kita perlu BERLOMBA dengan para selebgram, dengan para influencer, untuk MENCURI HATI anak-anak.
Dan ketika para selebgram atau youtuber yang kemudian begitu membuncah fans-nya dalam kondisi tak jelas "juntrungan karyanya", maka kita pun tak perlu pesimistis dengan karya apa adanya. Kita prioriaskan kedekatan emosional. Kita akadkan diri sebagai "teman curhat" buat anak atau para siswa.
Kenapa menjadi "teman curhat". Karena dari konteks sederhana itu, menjadi sebuah filosofi bahwa kita adalah sosok, bahwa kita adalah kiblat, bahwa kita adalah penting.
Yuk, menjadi orang tua yang mendengar dan didengar.
Yuk ah. Dimulai dari rumah. Dimulai dari sekolah. Menjadi orang tua dan guru yang berdaya.
Berdaya dengan ruh kasih sayang. Berdaya dengan gagasan. Berdaya dengan inovasi dan teknik-teknik menyikapi. Berdaya dengan wawasan. Berdaya dengan budaya bercerita. Berdaya dengan mengantarkan pesan-pesan kebaikan. Berdaya dengan memproduktifkan anak-anak. Berdaya dengan menjadi idola. Berdaya dengan membekali AQIDAH.
Wallohu'alam. Semoga bermanfaat. Sekadar penaut resah atas apa yang ada. Atas masa depan generasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H