oleh: Miarti Yoga
Sebagai guru, sekaligus sebagai pengampu dari sebuah lembaga pendidikan, bukan tak greget untuk turut berargumen terkait dunia pendidikan dalam hubungannya dengan era 4.0 (four point zero).
Salah satu wacana yang digaungkan oleh -Mas Menteri- Nadiem Makarim adalah "Merdeka Belajar". Apa itu merdeka dalam perspektif beliau? Kurang lebih, artinya adalah bahwa merdeka belajar itu merdeka berpikir, merdeka berkarya, dan menghormati atau merespons perubahan yang terjadi (memiliki daya suai).
Namun persoalannya, masyarakat Indonesia dengan warisan cara berpikir feodalisme yang hingga hari ini masih menjejak, masyarakat Indonesia yang hingga saat ini masih terjebak pada formalitas-formalitas yang belum tentu bersubstansi, sangat mungkin melakukan hal yang sifatnya manipulatif.
Dunia pendidikan, jelas belum bisa steril dari sebuah kesemerawutan paradigma. Berorientasi pada hasil tanpa mengindahkan proses, berwacana langit tanpa menakar realitaa, dan berkiblat secara subjektif pada satu pemikiran sehingga menganggap cara pandang yang lain adalah tak benar. Atau dalam kata lain, masih belum steril dari taklid-taklid, yang mengemuka akibat penggiringan pola, atau bisa jadi akibat desakan politis, dan lain-lain.
Wajar jika narasi "Merdeka Belajar" masih menjadi pro kontra. Belum lagi keberagaman masyarakat Indonesia dengan perbedaan suku, budaya, teknologi, bahkan masih terdapatnya kondisi sejomplang-jomplangnya. Sebagai contoh, saat para siswa di Indonesia dituntut untuk melek digital dan guru-gurunya tertuntut menciptakan proyek belajar berbasis digital, sementara daerah pelosok sepelosok-pelosoknya masih minim sekali dari fasilitas.
Namun tentunya, sebagai warga masyarakat biasa, saya menyambut keunikan -Mas Menteri- Nadiem Makarim dalam mentransformasi  "style". Walaupun, transformasi "style" itu sendiri, sebetulnya harus bersama filosofi dan tujuan yang jelas.
Dan di luar itu semua, sebagai seorang insan pendidikan yang rasanya "sangat boleh" untuk bertutur, kiranya Merdeka Belajar itu sendiri harus didalami terlebih dahulu HAKIKATNYA.
Merdeka Belajar, sebaiknya menjadi satu tahap bagi masyarakat Indonesia setelah melampaui kontkeks "Belajar Merdeka."
Apa itu "Belajar Merdeka". Belajar merdeka itu adalah belajar untuk berpersepsi yang baik. Belajar berparadigma. Belajar memiliki "mind-set", belajar memainkan rasa (energi) positif dalam diri.
Sedangkan pembelajaran yang merdeka itu adalah proses pembelajaran yang dilahirkan dari rahim originialitas gagasan. Bukan pembelajaran hasil "nyomot" dari sana-sini dengan pengejawantahan yang tidak menyeluruh (integral)
Selanjutnya, dari konteks pembelajaran yang merdeka, turunlah kepada konteks guru atau insan pendidikan. Nah beberapa karakteristik guru atau insan pendidikan yang merdeka adalah;
- Guru yang berkarya dalam tulus
Guru yang berkarya dalam tulus adalah mereka yang pantang mengeluh, tersebab kenikmatannya dalam menjalani proses. Lalu dari manakah ketulusan itu hadir? Tentunya dari energi kebaikan dan keyakinan pada konsep jangkauan kemanfaatan. Sehingga dari ketulusan itulah, seorang guru akan tetap berkreasi dalam situasi dan kondisi, tanpa berorientasi praktis pada sebuah pengakuan.Â
Karena inspirasi memang sangat mahal harganya, maka pengakuan (baik secara formal dari negara maupun secara nonformal dari berbagai pihak tak terikat) akan hadir dengan sendirinya tersebab hasil tulus kita menciptakan mercusuarnya inspirasi. Dan yang namanya inspirasi tak kan pernah terbatasi oleh ruang, waktu, teritori, maupun demografi.
- Guru yang genuine
Apa itu guru yang genuine? Guru yang genuine tentu akan memapu melahirkan produk yang berupa ide-ide pemikiran yang asli, yang berfilosofi, dan yang berproyeksi. Maka seorang guru yang genuine, tentunya akan memiliki lesatan-lesatan kreativitas yang andal, yang tak sekadar mengekor pada cara dan gaya orang. Bagaimana dirinya menciptakan sebuah program unggulan di sekolahnya, bagaimana dirinya mem-break down sebuah teori menjadi sebuah model, bagaimana dirinya menciptakan berbagai tools pembelajaran yang efektif dan inovatif, dan lain sebagainya.
- Guru yang memilliki prinsip "the power of ngeureuyeuh"
Dalam istilah lain, sustainable. Artinya, guru yang memiliki prinsip "the power of nguereuyeuh", adalah guru yang tak mudah stuck dengan kemunculan dinamika, guru yang berpegang teguh pada impian masa depan, guru yang tetap berkarya di berbagai kondisi, guru yang mampu menjaga budaya kebaikan yang digagas.
- Guru yang ber-DNA guru
Maksudnya? Ya, guru yang DNA-nya memang betul-betul guru. Karena memang ada guru yang DNA-nya malah justru seorang tukang jualan, misalnya. Atau ada guru yang DNA-nya seorang oportunis atau pencari untung. Atau ada juga guru yang yang selalu merasa cukup dengan bekal wawasan yang ada alias merasa tak perlu terbuka terhadap pengetahuan. Padahal hakikat dari seorang guru adalah PEMBELAJAR.
Dan penting bagi kita untuk back to basic.
Back to basic yang pertama adalah, kembali kita mengingat Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 tahun 2005 tentang standar kompetensi. Bahwa sejatinya, guru yang memiliki kompetensi pedagogik, yang berkepribadian, yang profesional, dan memiliki kecerdasan sosial, adalah bekal cukup menyeluruh untuk menjadi seorang guru inspiratif.
Selanjutnya, sebagai guru muslim, tentu perlu juga back to basic terhadap amanat Allah SWT. Bahwa gulat hidup kita dalam dunia pendidikan adalah bagian dari bentuk menolong agama Allah.
Wallohu'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H