Oleh: Miarti Yoga
Bukan tak ada. Â Pro kontra penafsiran tentang anak hebat atau anak cerdas atau anak pintar atau anak genius. Banyak sekali diantara kita yang masih pragmatis atau terlalu praktis dalam membuat ukuran. Seolah-olah, mereka yang dikatakan hebat adalah mereka yang mampu melampaui ujian sekolah dengan skor nilai yang paling maksimal. Seolah-olah, mereka yang saat masih berada di bangku SD tak dapat mempersembahkan rangking terbaik, diprediksi bahwa masa depannya tak akan secerah anak lain yang nilainya dianggap super.
Padahal fakta tak selamanya demikian. Prediksi tak berarti sebuah hasil analisis. Vonis tak berarti adil untuk masing-masing anak. Kondisi minoritas seorang anak pada saat masih kecil, tak menjamin gambaran yang sama saat sudah dewasa kelak.
Maka seharusnya kita berhenti menyalahkan mereka yang hari ini kesulitan belajar atau terlambat perkembangan logis matematisnya. Seharusnya kita berhenti dari keputusasaan, saat melihat seorang anak yang masih belum bisa berhitung dengan benar, saat melihat seorang anak yang masih terlambat menyeelsaikan tugas, saat melihat seorag anak yang nilai akademiknya di bawah rata-rata.
Karena di balik kondisi belum matangnya, masih terlimpah kemampuan yang bisa dilesatkan. Kemampuan menata diri, misalnya. Kemampuan mengontrol emosi, kemampuan membuat sebuah produk karya, kemampuan mencipta, kemampuan membidangi sesuatu, dan atau sejenisnya.
Bahkan ada sebuah kondisi yang sangat ekstrem dimana seorang anak SD tak sanggup melanjutkan kewajibannya bersekolah di jenjang formal. Pada pertengahan kelas V (lima), ia memutuskan berhenti sekolah dan memilih jalan hidup tersendiri. Ia megikuti salah satu tetangganya yang sudah senior dalam dunia jual beli.
Tanpa berbekal ijazah kelulusan, bahkan tanpa kemampuan baca tulis, ia menekuni jual beli onderdil mobil hingga omzet penjualannya mencapai puncak. Merangkak, tertatih, berjalan mulus, hingga berlari melampaui kondisi finansial keluarganya. Pada akhirnya, dirinya menjadi solusi finansial bagi keluarganya. Berubahlah nasib keluarganya yang semula hanya keluarga biasa dengan banyak keterbatasan, menjadi keluarga yang berkecukupan. Pun dengan strata sosial.
Berbekal pengalaman bergaul dan membuat relationship, didukung dengan kondisi ekonomi yang cukup bergaransi bagi banyak orang, maka ia pun tampil sebagai seorang yang memiliki banyak kolega. Ia mampu hidup layak dan dihormati oleh banyak orang di banyak tempat.
Sebaliknya, seorang mantan juara umum di sebuah SMA, nampak galau pasca dirinya dinobatkan sebagai lulusan mahasiswa Fisika di sebuah Universitas negeri terkemuka. Apa sebab, sehingga dirinya menjadi galau dan merasa tak tentu arah. Alasannya adalah karena ia merasa tak cukup berani untuk memulai berkarya.Â
Pikirannya tak cukup terbuka untuk menggeluti kehidupan yang sesungguhnya. Apakah harus melamar pekerjaan, apakah harus berkarier, apakah harus berwirausaha. Pada akhirnya, dalam rentang sekian tahun pasca lulus dari universitas, tak ada aktivitas yang ia geluti alias menganggur. Seolah ia telah kehilangan kesempatan untuk berkarier. Mentok. Bingung.
Fakta kegalauan pasca lulus kuliah ini memang tak bisa disimpulkan sebagai kondisi percuma mengikuti pendidikan. Tidak. Tidak demikian. Pun dengan kasus seorang pedagang ulet yang tak menyelesaikan jenjang Sekolah Dasarnya. Tak bisa disimpulan bahwa anak-anak kita tak perlu mendapatkan pengalaman akademis. Karena ini hanyalah sebuah kasuistik yang dapat kita jadikan sebagai ladang tafakur.
Namun satu hal yang layak kita muhasabahi atau kita tafakuri adalah tentang seberapa besar bekal kecakapan hidup anak-anak kita. Seberapa kita adil terhadap pentingnya konseptual dan bermaknanya nilai-nilai operasioanal. Atau dalam kata lain, seberapa mampu anak-anak kita mengimbangi konseptual yang mereka dapat dengan kemampuan operasional yang mereka miliki.
Jangan sampai, generasi kita hanyalah seorang generasi yang cakap pada tatatan konsep saja, sementara dalam tataran konteks, mereka gagap alias tak mampu mengaplikasian dalam kehidupan sesungguhnya. Sedangkan saat memasuki kehidupan nyata, tentu tak akan sesederhana saat masih menempuh studi di sebuah jenjang pendidikan. Kehidupan nyata jauh lebih memiliki kompleksitas yang kadang-kadang penuh dengan KEKAGETAN, penuh dengan keharusan BERIMPROVISASI, penuh dengan keragaman opini dari orang-orang sekitar.
Contoh sederhananya adalah saat seorang mahasiswa informatika dituntut untuk dapat menghasilkan sebuah sistem. Jika mahasiswa tersebut hanya terbatas pada kemampuan konseptual, maka produk sistem yang dibuatnya jelas akan terbatas pada penghitungan yang telah distandaran oleh contoh-contoh yang ada pada literatur.
Sebaliknya, bagi mahasiswa yang mahir dalam berpikir secara operasional, tentu akan jauh lebih kreatif dan kontekstual. Ia akan berpikir tentang lingkungan sekeliling. Ia akan menggagas sesuatu yang ada nilai kebermanfaatannya untuk lingkungan atau orang-orang sekitar. Mungkin dia akan berpikir tentang bagaiamana caranya membuat sistem input tabungan di sekolah-sekolah negeri yang bisa dieperasikan secara mudah oleh oara siswa.Â
Atau mungkin ia akan menghitung berapa banyak masjid yang ada di lingkungannya yang memerlukan penghitungan infaq, zakat dan shodaqoh yang lebih sistemik dan memudahkan para amil. Atau mungkin saja dia berpikir tentang bagaimana membantu para ibu muda yang ketakutan akan kebablasan bobot tubuh, sehingga ditawarkan sebuah cara penghitungan efektif terkait asupan kalori sehari-hari.
Bismillah. Mari jadikan anak-anak kita generasi yang berdaya. Yang tak sebatas mampu berhitung dan memiliki nilai rapot yang bagus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H