Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Akankah Masih Harus Menyalahkan Corona?

1 Juni 2020   23:33 Diperbarui: 13 Agustus 2020   19:53 1995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin kalau dalam "mode" hiperbolisnya orang Sunda, kejenuhan kita menghadapi hari-hari dampak pandemi, bisa jadi akan direspons dengan frasa "Tos teu kiaaaaaaat atuh Gustiiii". 

Atau dalam level lebih dramatis, bukan tak ingin untuk melakukan spontanitas-spontanitas gerakan seperti "kokosehan", "gugulutukan" dan gerakan dramatis lainnya (bila digeneralisasikan, kurang lebih semacam eskpresi tempertantrum seperti guling-guling tak jelas arah sambil teriak histeris).

Intinya, sipapaun kita, bertikpikal tenang maupun reaktif, tentu memiliki rasa yang sama bahwa memang sudah tak tahan ingin segera kondusif. Senormal-normalnya.

Namun yang membedakan, tentu saja terletak pada penyikapan. Apakah rasa yang membuncah itu untuk diikuti dengan emosional, atau diredam dengan pola pikir yang jernih. Maka pada akhirnya menjadi pilihan. Kita tetap logis mencerna persebaran yang terus meningkat, atau malah secara spekulasi bergerak ke sana ke sini sesuka hati.

Dan di luar segala keterbatasan kita menghadapi musibah ini, setidaknya kita belajar untuk TAK LATAH menyalahkan masalah. Karena sekeras-kerasnya kita menyalahkan masalah, tetap tak akan ada solusi selama kita tidak berikhtiar.

Ibarat saat kita dihadapkan pada mati lampu berjam-jam. Lalu kita menggerutu karena tak bisa menanak nasi. Padahal memasak nasi secara manual saja masih dilakukan. 

Terlebih perlengkapan standar seperti panci atau dandangnya memang ada. Jika fokus pada masalah tak adanya aliran listrik, maka keluarga kita tak bisa makan. Lain halnya dengan ketika kita berpikir ALTERNATIF.

Berikutnya, biarlah MUSIBAH ISTIMEWA ini menjadi sebuah KILAS BALIK. Kilas balik atas segala kekurangan dan keterbatasan diri.

Mengapa harus menjadi sebuah kilas balik? Karena jangan-jangan, mengeluhnya kita hari ini, tanpa sadar adalah sebuah AKUMULASI atas keluhan-keluhan yang muncul jauh sebelum Corona ada.

Contoh Pertama

Ketika hari ini kita menyampaikan dengan verbal terkait menurunnya penghasilan, tentang pendapatan yang menurun drastis, tentang proyek yang terpaksa harus batal, tentang THR yang tidak bisa didapat, tentang gaji yang tidak utuh, dan masalah sejenisnya, bisa jadi kita lupa dengan TITIK NADIR yang pernah kita lalui.

Artinya, setiap kita, setiap perjalanan rumah tangga kita, relatif mengalami titik rendah semacam saat-saat TERNELANGSA, saat-saat dijerat masalah dalam waktu yang bersamaan, saat-saat di mana kita benar-benar tidak memegang uang sepeser pun.

Lalu, hari ini, kita berada alam kondisi kekurangan, misalnya. Untuk sekadar tetap bersyukur dengan apa yang ada, kenapa tidak mengingati saat-saat kita terpuruk dan kita berhasil melewatinya. Karena Allah SWT tak menjadikan Corona sebagai satu-satunya pusat nadirnya kehidupan.

Contoh Kedua

Dampak virus Corona dalam kaitannya dengan mudik Lebaran. Sebagian kita menyikapi ritual mudik sebagai sesuatu yang --bisa jadi- sakral. Wajib adanya. 

Dan memang tak salah. Sebuah konteks silaturahim yang sejatinya dilestarikan. Bahkan sangat manusiawi, setiap kita merindukan suasana kampung halaman dengan segala perniknya. Masing-masing punya kesan yang dalam.

Namun tanpa sadar, budaya mudik telah melahirkan perubahan pola pemahaman bagi sebagian atau banyak orang. Bahkan banyak hal tersier "ngaclok" (baca: meloncat) menjadi primer. 

Contoh di lapangan, ada sekian orang yang begitu sibuknya mengoleksi "pernik mudik" untuk ajang "pamer" di kampung halaman kelak. Dari mulai pakaian ingin "ter-wah" sampai armada yang terpaksa harus ada, bahkan hingga pernik khusus untuk kelak eksis dan narsis di acara reuni.

Bahkan dari obrolan sepuluh tahun lalu dengan salah seorang pengelola took mas. Konon, sebelum lebaran, ibu-ibu ramai-ramai memilih dan membeli mas sesuka hati. Namun tiba kembali datang ke kota (pasca Lebaran), mereka ramai-ramai pula menjualnya kembali. Inilah "syahwat" yang tanpa terasa menjadi agenda  tahunan para pemudik.

Kembali pada tafakur Corona, dengan dilarangnya mudik di tahun ini, menjadi sebuah perenungan ekstrem bahwa ternyata "bisa kok kita tanpa mudik". Bahwa tak mudiknya kita hari ini, menjadi sebuah latihan perpisahan. Atau menjadi takaran perasaan bagi orang-orang yang lama merantu dengan kondisi sangat tak mudah untuk pulang.

Contoh Ketiga

Ketika hari ini kita mempermasalahkan repotnya mengurus anak-anak melewati  pembelajaran jarak jauh. Apakah hal demikian juga harus masuk poin dramatisme? 

Jika dirasakan, memang begitulah faktanya menemani anak-anak belajar di rumah. Tak sederhana. Tetapi ketika kita coba tafakuri barang sejenak, bahwa rata-rata kita adalah produk "jadul" dengan pemberian PR dari sekolah yang cukup "ngaberendel" (banyak itemnya). 

Pada masa itu, apalagi untuk orang semacam yang tinggal di kampung, boro-boro harus menikmati fasilitas guru privat atau daftar menjadi peserta bimbel. 

Kemampuan berbayar SPP saja cukup terbatas. Pada akhirnya hanya bermodalkan didampingi oleh orang tua sendiri dengan keterbatasan latar pendidikan yang rata-rata lulusan Sekolah Rakyat (setara SD).

Pun ketika kembali pada hakikat, menjadi orang tua adalah menjadi pendamping, terlepas pada atau bukan pada masa dampak pandemic seperti sekarang.

Jadi, untuk lebih jernihnya, kita bisa sampaikan dengan terbuka kepada pihak sekolah. Menyampaikan kondisi kejenuhan anak di rumah, memberi saran supaya sekolah juga lebih "ramah" menyikapi fenomena, dan lain-lain. Intinya, bisa disikapi dengan jernih. Bisa dikomunikasikan dengan lugas. Pun perihal SPP. 

Apakah bisa disikapi dengan logika sebab akibat yang "leterlijk" seperti pendapat tak harus bayar SPP tersebab anak tak bersekolah. Sementara pihak sekolah tak diam membuat formula ini dan itu. Ini pun menjadi bab yang bisa dikomunikasikan dengan ramah. Bukan diumbar di tempat yang tak semestinya yang justru menjatuhkan diri sebagai orang tua.

Lagi dan lagi. Ujian sabar. Ujian tulus. Ujian berlogika yang bijak.

Contoh Keempat.

Ketika sekian orang yang harus Work From Home seperti para guru, orang kantoran, dan lain-lain, tersebab dampak pandemi. Lalu dengan spontan, mengeluhkan sekian masalah. Misalnya mengeluhkan teknologi, mengeluhkan teknik-teknik pelaporan, mengeluhkan keharusan berinovasi, dan atau sejenisnya.

Sekilas, sekelabat, memang ada perbedaan antara bekerja dalam jaringan (daring) dengan bekerja secara manual bertatap muka. Tetapi, jika kita harus menghakimi teknologi, jelas tidak adil. 

Karena percepatan menguasai teknologi, sebetulnya tidak harus karena ada WFH. Artinya, ada tidak ada dampak Corona, kesadaran berteknologi tetap harus menjadi "kecakapan".

Oleh karenanya, jangan terburu-buru menyalahkan keadaan, melainkan mari tafakur saja dulu tentang kesiapan kita selama ini. 

Artinya, ketika kita hari ini mengeluhkan tentang sesuatu yang serba digital, bisa jadi karena dari jauh-jauh hari kita memang enggan mengakrabi perdigitalan. Ketika kita hari ini harus melakukan laporan ini laporan itu, bisa jadi dari jauh hari pun kita memang gagap dengan perkomputeran.

Sederhananya, bukan masalahnya yang melambung, melainkan kapasitas kitanya sendiri yang mungkin bermasalah.

Wallohualam. Sekadar mengingatkan diri sendiri dengan segala kekurangan dan kekhilafan.

Semoga musibah ini segera berlalu. Semoga musibah ini justru MENUMBUHKAN hati dan akal.

Oleh: Miarti Yoga
(Penulis dan Konsultan Pengasuhan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun