Artinya, setiap kita, setiap perjalanan rumah tangga kita, relatif mengalami titik rendah semacam saat-saat TERNELANGSA, saat-saat dijerat masalah dalam waktu yang bersamaan, saat-saat di mana kita benar-benar tidak memegang uang sepeser pun.
Lalu, hari ini, kita berada alam kondisi kekurangan, misalnya. Untuk sekadar tetap bersyukur dengan apa yang ada, kenapa tidak mengingati saat-saat kita terpuruk dan kita berhasil melewatinya. Karena Allah SWT tak menjadikan Corona sebagai satu-satunya pusat nadirnya kehidupan.
Contoh Kedua
Dampak virus Corona dalam kaitannya dengan mudik Lebaran. Sebagian kita menyikapi ritual mudik sebagai sesuatu yang --bisa jadi- sakral. Wajib adanya.Â
Dan memang tak salah. Sebuah konteks silaturahim yang sejatinya dilestarikan. Bahkan sangat manusiawi, setiap kita merindukan suasana kampung halaman dengan segala perniknya. Masing-masing punya kesan yang dalam.
Namun tanpa sadar, budaya mudik telah melahirkan perubahan pola pemahaman bagi sebagian atau banyak orang. Bahkan banyak hal tersier "ngaclok" (baca: meloncat) menjadi primer.Â
Contoh di lapangan, ada sekian orang yang begitu sibuknya mengoleksi "pernik mudik" untuk ajang "pamer" di kampung halaman kelak. Dari mulai pakaian ingin "ter-wah" sampai armada yang terpaksa harus ada, bahkan hingga pernik khusus untuk kelak eksis dan narsis di acara reuni.
Bahkan dari obrolan sepuluh tahun lalu dengan salah seorang pengelola took mas. Konon, sebelum lebaran, ibu-ibu ramai-ramai memilih dan membeli mas sesuka hati. Namun tiba kembali datang ke kota (pasca Lebaran), mereka ramai-ramai pula menjualnya kembali. Inilah "syahwat" yang tanpa terasa menjadi agenda  tahunan para pemudik.
Kembali pada tafakur Corona, dengan dilarangnya mudik di tahun ini, menjadi sebuah perenungan ekstrem bahwa ternyata "bisa kok kita tanpa mudik". Bahwa tak mudiknya kita hari ini, menjadi sebuah latihan perpisahan. Atau menjadi takaran perasaan bagi orang-orang yang lama merantu dengan kondisi sangat tak mudah untuk pulang.
Contoh Ketiga
Ketika hari ini kita mempermasalahkan repotnya mengurus anak-anak melewati  pembelajaran jarak jauh. Apakah hal demikian juga harus masuk poin dramatisme?Â