Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak Kita (Bukan) Penghalang Kita

21 Mei 2020   21:10 Diperbarui: 23 Mei 2020   10:37 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang ibu, geleng-geleng kepala sambil bermuka masam. Lalu menggerutu dengan nafas terengah. "Huhhhhhh. Ada-ada aja. Si bibi kok tiba-tiba gak masuk. Aku jadi ga bisa nga-ngapain nih. Aku harus ngurus anak seharian ini."

Di lain tempat dan waktu, seorang bapak berusia muda terlihat kesal sambail meracau; "Coba kalau kamu bangun dari pagi. Kamu gak bikin ayah kesiangan. Coba lihat jam? Jam berapa ini? Ayah kesiangan, tahu."

Pada lain tempat pula, terdapat konteks yang berbeda. Seorang ibu tengah menyesali urungya dia menempuh kuliah magister. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh kelahiran anak bungsunya. Sehingga dengan adanya dia mengasuh bayi, maka dia tak bisa berkegiatan.

Pun, sebagai orangtua, seringkali kita dihadapkan pada stuasi-situasi yang dilematis.

Contoh: Saat hendak berangkat kerja, tiba-tiba si kecil BAB. Padahal kondisi kita da;am keadaan rapi dan agak kurang representatif untuk ke kamar kecil membersihkan BAB-nya si kecil.

Atau, saat kita tengah menikmati makan minum, tiba-tiba dua nak kita bertengkar layaknya Tom dan Jerry. Kita yang tengah menikmati santap malam, dibuat migrain mendengar mereka saling adu mulut dan baku pukul.

Bisa juga, saat hendak menempuh sebuah agenda seperti seminar, pelatihan, dan atau sejenisnya. Dan kita sangat berharap besar dapat mengikuti agenda tersebut.

Namun sayang, begitu mencoba kontak sana-sini (orangtua, saudara, dan lain-lain), tidak ada yang ketepatan dititipi. Kita pun dibuat galau setengah mati.

Bahkan bukan tak ada, -atau biasa jadi di antara kita- masih menganggap anak sebagai sebuah penyebab prinsip atas gagalnya rencana-rencana kita. Contoh:

  • "Gara-gara aku punya anak lagi, aku jadi urung deh melanjutkan kuliah. Padahal awalnya semangat betul dan sudah disiapkan jauh-jauh hari."
  • "Akhirnya, kuputuskan untuk resign dari tempat kerja, gara-gara anakku gak ada yang pegang. Jadi yaa, terpaksa aku jadi full time mother."
  • "Sebetulnya aku sangat betah ikut aktif dalam organisasi tersebut. Tempat aktualisasi diri, begitulah tepatnya. Namun apa daya. Kini aku punya si kecil. Aku gak bisa ke mana-mana. Suamiku menyuruh aku untuk duduk diam di rumah. Menjaga anak-anak."

Hmmmmm. Sekilas, sekelebat, rangkaian keluhan itu seolah wajar. Tetapi, ada ketaksadaran di balik berubahnya rencana-rencana. Ada ketidakikhlasan di balik ekspektasi-ekspektasi yang tertunda. 

Dan seharusnya, idealnya, sejatinya, berakhirnya kita dari sebuah aktivitas adalah karena niat tulus kita untuk bisa lebih tukmaninah membersamai anak-anak. 

Bukan sebaliknya, di mana anak-anak dijadikan penyebab utama dan dikesankan sangat negatif. Sangat buruk. Sehingga seolah-olah kita adalah objek yang terdampak.

Membesarkan anak, memang ngeri-ngeri sedap. Sedapnya pun tak kepalang. Membina buah hati, memang susah-susah gampang.

Tetapi yakinlah, bahwa kemudahannya akan mengalir begitu saja seiring keyakinan kita bahwa kita merasa bisa, merasa mampu. Dan ini soal sugesti.

Maksudnya? Saat kita memandang anak kita sebagai pendongkrak hadirnya-rizqi-rizqi, maka akan demikianlah yang mengemuka. 

Di mana dengan  Allah anugerahkan anak kepada kita, maka meningkatklah berbagai sisi kehidupan kita. Sosialnya, finansialnya, kepercayaan dirinya, eksistensinya, fkesibilitasnya, kepekaannya.

Sebaliknya, semakin kita menghakimi anak kita sebagai objek-objek yang menghalangi jalan kita, maka hadirnya akan selalu membuat kita lelah. Akan serigkali membuat kita jengkel.

Hari ini, anak kita dengan segala kelucuannya, membuat kita gemas untuk meremas dan mengepal tubuhnya. Namun seiring waktu yang terus berkelindan, kelucuan mereka memudar bahkan hilang sama sekali. Ditelan bertambah usia. Ditelan kedewasaan yang terus menumbuh. Dan bisa jadi kita tak berkesempatan lagi untuk sekadar meremas rambutnya.

Hari ini, kita berpikir sedemikian rupa untuk menyiapkan makan dan minumnya. Mulai dari aneka bubur sehat untuk dikonsumsi si bayi, hingga perbekalan makanan ringan untuk dibawa ke sekolah. 

Namun tanpa sadar, lima taau sepuuh tahun lagi, mereka telah memiliki selera sensiri, memiliki pilihan sendiri. Sehingga bukan tak mungkin, makanan minuman yang kita hidangkan pun dilaluinya begitu saja. Tanpa disentuhnya. Dan ini sangat mungkin terjadi.

Hari iini, kita merasa banyak memiliki variabel dalam menghadapi "krucil" di rumah. Dari mulai membangunkannya di pagi hari, menyiapkan sarapan untuk mereka, menyiapkan pakaian, menerima argumennya dalam bentuk argumen yang kadang-kadang memaksa, hingga menyelesaikan dinamika pertemanan yang tak bisa lepas dari pertengkaran kecil. 

Tetapi lima, sepuluh, atau lima belas tahun ke depan, mereka yang akan memberi wejangan kepada kita. Mereka yang akan menghadirkan solusi untuk permasalahan yang mengemuka di dalam keluarga. Mereka akan hadir sebagai pembawa kebaikan, bahkan kebenaran.

Hari ini, dengan segala kepadatan aktivitas, dengan tidaknya orang untuk dititipi, anak kita dibawa ke mana-mana. Kita mengaisnya dalam punggung yang cukup pegal dan lelah.

Ke tempat jauh maupun ke tempat dekat, ke acara non formal maupun ke acara formal, ke tempat representatif untuk anak maupun yang kurang representatif untuk anak, dibawa berkendara menggunakan kendaraan sendiri maupun kendaraan umum. Mungkin membuat kita terkuras energi. 

Namun sekian tahun atau sekian belas tahun ke depan, anak kita memunculkan rindu pada ruang batin kita untuk bertemu dan memeluknya.

Dan kelak, kita cukup sulit untuk sekadar bersamanya dalam satu waktu yang sama. Karena mereka sudah punya agenda masing-masing. Karena mereka telah mandiri tanpa harus diantar dan dijemput.

Jadi, masihkah kita merasa lelah menghadapi buah hati kita sendiri. Masihkah kita tak mampu berdamai dengan kesementaraan ini. Bukankah semua lelah itu hanyalah sementara. Ya, sementara. Bahkan bisa jadi hanya sekelebat.

Oleh : Miarti Yoga
(Penulis dan Konsultan Pengasuhan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun