oleh: Miarti Yoga
Ada keterpaduan rasa, saat wabah corona melanda. Antara gamang, berdebar, bingung, bahkan tak luput dari gaduh dan riuh. Tak terkecuali pada dunia pendidikan. Sebuah kondisi "extraordinary" pun terjadi. Di mana seluruh siswa "terpaksa" harus menyesuaikan belajar, lalu difasilitasi dengan pembelajaran jarak jauh.
Tanpa sadar, konteks "Merdeka Belajar" pun seolah memiliki laboratorium dalam saat yang bersamaan secara massal di sekian tempat. Terlepas, apakah substansi merdekanya itu sendiri terpenuhi atau tidak.
Dengan edaran resmi untuk melakukan penyesuaian belajar di rumah, kegiatan belajar pada akhirnya nyaris menyerupai "home schooling", meski secara umum orangtua "dipaksa" menjadi seorang "homeschooler" pada sebuah waktu yang entah berapa lama pastinya. Bagaimana mereka mengawal dan mendampingi buah hati untuk menyambut instruksi dari pihak guru (wali kelas). Bahkan bukan tak ada, orangtua yang secara bersamaan menghadapi 3-4 anak secara sekaligus menyelesaikan soal atau tugas jarak jauh.
Secara fitrah, hal ini adalah hal yang sangat wajar dan dasar. Karena memang orangtua adalah isntitusi utama kehidupan. Tetapi, secara normatif, bahkan secara konsensus, anak-anak dikondisikan secara skolastik mengikuti regulasi kehidupan sekolah berlembaga formal. Bahkan faktor psikologis berpakaian seragam dan budaya jadwal pelajaran, cukup menjadi dampak pembiasaan yang relatif terkotak antara rumah dan sekolah.
Maka sangat wajar bila kemudian terjadi transisi atau kekakuan, di mana anak harus di-drive langsung oleh orangtua guna memenuhi kebutuhan kognitif melalui tugas-tugas yang ada.
Kita tak bisa menghadapi fenomena ini dengan keresahan, terlebih dengan respons negatif. Karena wabah corona pada dasarnya bisa kita analogikan sebagai sebuah bencana. Dan ketika hari ini anak kita dilarang keras ke luar rumah dan dikondisikan untuk produktif di dalam rumah, tentu bersama kekurangan dan kelebihan bahkan tak luput dari keluhan menghadapinya.
Tetapi, kita bisa menyikapinya dengan sebuah tafakur bencana. Kita bisa bayangkan, bagaimana kita bersama anak-anak berada dalam sebuah ruang evakuasi atau dalam sebuah tempat pengungsian. Meski analogi ini cukup ekstrem, tetapi, hal ini membangkitkan kita untuk menyelami arti sebuah tangguh. Tangguh menghadapi fenomena. Adversity quotient.
Dan dengan fenomena yang ada, tanpa sadar anak diingatkan tentang arti sabar yang lebih tak terbatas. Anak diingatkan untuk tetap langitkan rasa syukur dalam KETERBATASAN yang ada. Dan dengan berpadunya mental sabar dan syukur itulah, akan terorkestrasi lesatan-lesatan kreativitas di luar prediksi. Karena memang secara fitrah, dalam kondisi terbatasa, manusia dibuat memiliki energi khusus untuk mengeluarkan sebuah "effort" dan melahirkan originalitas gagasan. Atau kalau dalam istilah slebor, dikenal dengan the power of kepepet, yang maknanya adalah melesat dalam keterhimpitan, atau berdaya juang dalam titik nadir.
Selanjutnya, saya secara pribadi sebagai guru di sekolah maupun sebagai ibu bagi anak-anak saya, berusaha untuk bersikap wajar dan seimbang. Artinya, kebutuhan murid di sekolah harus tetap terakomodir, dan kebutuhan anak di rumah tak boleh terabaikan.
Hal pertama yang saya lakukan dalam menghadapi transisi atau penyesuaian belajar jarak jauh adalah, bagaimana mengedapankan MENTAL. Artinya apa? Artinya adalah, bagimana kita memastikan anak-anak bahwa belajar itu KEBUTUHAN. Bukan perkara pragmatis atau bukan sebuah orientasi praktis untuk memenuhi tugas sekolah. Dengan demikian, anak akan turut menanyakan atau "menagih" terkait tugas apa yang akan mereka dapat.
Kedua, dengan cara membawa mereka ke dalam RUANG REGULASI. Apa yang disebut ruang regulasi? Ruang regulasi adalah ruang pembiasaan. Mulai dari membaca buku cerita, mengulang buku pelajaran, sholat wajib maupun sholat sunnah, menulis diari, sudah menjadi menu harian meski dalam kondisi ditugaskan atau tidak. Dengan demikian, anak sudah lebih refleks tanpa harus terbentur dengan sugesti-sugesti sekolastik.
Ketiga, menghadirkan EMPATI mereka terhadap keberjalanan takdir. Meski pandemi corona ini terjadi atas andil kecerobohan manusia, namun secara hakikat adalah kehendak Allah SWT. Maka hal ini menjadi ladang kita untuk menajamkan keimanan (aqidah) anak-anak kita terhadap sebuah ketetapan.
Keempat, mari jadikan momentum anak belajar di rumah ini sebagai sebuah "romantisme", bahwa kita bisa dekat dengannya baik secara lahir maupun batin. Dari romantisme inilah, kita bisa membangun ruang diskusi bersama anak. Dan dari ruang diskusi, akan terbangun konstruksi-konstruksi pikiran yang tak terprdediksi. Mereka akan melahirkan gagasan di luar dugaan, mereka akan menemukan solusi brilian, mereka akan menghadirkan banyak hal tentang "bagaimana" mengurai impian-impian masa depan.
Kelima, mari mengarahkan mereka untuk TAK TERBATAS mempersepsikan sumber belajar. Bahwa sumber belajar bukan saja hal kasat mata yang lazim ditemukan sehari-hari seperti buku dan sejenisnya. Namun dengan mereka dilibatkan membantu memasak di dapur, membantu mencuci kendaraan, membantu mengasuh adik, membantu menghitung pembukuan sederhana atas bisnis yang kita jalani, membantu merapikan file-file di dalam komputer kerja kita, dan lain-lain. Sumber belajar pada aspek tak terbatas, yang menjangkau aspek ekonomi, aspek sosial, aspek pendidikan, dan lain-lain, yang pada akhirnya menjelma sebuah PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL.Pembelajaran yang esensinya adalah sebuah konteks "Merdeka Belajar" sebagaimana digaungkan oleh -Mas Menteri- Nadiem Makarim.
Mari tetap menjaga impian. Pastikan bahwa selalu ada alasan untuk berkarya, meski tengah berada dalam keterbatasan. Karena hidup adalah panggung upaya. Bukan sebuah orkestra pembenaran dan kelemahan.
Wallohu'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H