Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pendidikan Keluarga

Menjalani Peran Pengasuhan Berkesadaran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penyesuaian Belajar dan Ketakterbatasan Harapan

15 Mei 2020   07:12 Diperbarui: 15 Mei 2020   07:10 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

oleh: Miarti Yoga

Ada keterpaduan rasa, saat wabah corona melanda. Antara gamang, berdebar, bingung, bahkan tak luput dari gaduh dan riuh. Tak terkecuali pada dunia pendidikan. Sebuah kondisi "extraordinary" pun terjadi. Di mana seluruh siswa "terpaksa" harus menyesuaikan belajar, lalu difasilitasi dengan pembelajaran jarak jauh.

Tanpa sadar, konteks "Merdeka Belajar" pun seolah memiliki laboratorium dalam saat yang bersamaan secara massal di sekian tempat. Terlepas, apakah substansi merdekanya itu sendiri terpenuhi atau tidak.

Dengan edaran resmi untuk melakukan penyesuaian belajar di rumah, kegiatan belajar pada akhirnya nyaris menyerupai "home schooling", meski secara umum orangtua "dipaksa" menjadi seorang "homeschooler" pada sebuah waktu yang entah berapa lama pastinya. Bagaimana mereka mengawal dan mendampingi buah hati untuk menyambut instruksi dari pihak guru (wali kelas). Bahkan bukan tak ada, orangtua yang secara bersamaan menghadapi 3-4 anak secara sekaligus menyelesaikan soal atau tugas jarak jauh.

Secara fitrah, hal ini adalah hal yang sangat wajar dan dasar. Karena memang orangtua adalah isntitusi utama kehidupan. Tetapi, secara normatif, bahkan secara konsensus, anak-anak dikondisikan secara skolastik mengikuti regulasi kehidupan sekolah berlembaga formal. Bahkan faktor psikologis berpakaian seragam dan budaya jadwal pelajaran, cukup menjadi dampak pembiasaan yang relatif terkotak antara rumah dan sekolah.

Maka sangat wajar bila kemudian terjadi transisi atau kekakuan, di mana anak harus di-drive langsung oleh orangtua guna memenuhi kebutuhan kognitif melalui tugas-tugas yang ada.

Kita tak bisa menghadapi fenomena ini dengan keresahan, terlebih dengan respons negatif. Karena wabah corona pada dasarnya bisa kita analogikan sebagai sebuah bencana. Dan ketika hari ini anak kita dilarang keras ke luar rumah dan dikondisikan untuk produktif di dalam rumah, tentu bersama kekurangan dan kelebihan bahkan tak luput dari keluhan menghadapinya.

Tetapi, kita bisa menyikapinya dengan sebuah tafakur bencana. Kita bisa bayangkan, bagaimana kita bersama anak-anak berada dalam sebuah ruang evakuasi atau dalam sebuah tempat pengungsian. Meski analogi ini cukup ekstrem, tetapi, hal ini membangkitkan kita untuk menyelami arti sebuah tangguh. Tangguh menghadapi fenomena. Adversity quotient.

Dan dengan fenomena yang ada, tanpa sadar anak diingatkan tentang arti sabar yang lebih tak terbatas. Anak diingatkan untuk tetap langitkan rasa syukur dalam KETERBATASAN yang ada. Dan dengan berpadunya mental sabar dan syukur itulah, akan terorkestrasi lesatan-lesatan kreativitas di luar prediksi. Karena memang secara fitrah, dalam kondisi terbatasa, manusia dibuat memiliki energi khusus untuk mengeluarkan sebuah "effort" dan melahirkan originalitas gagasan. Atau kalau dalam istilah slebor, dikenal dengan the power of kepepet, yang maknanya adalah melesat dalam keterhimpitan, atau berdaya juang dalam titik nadir.

Selanjutnya, saya secara pribadi sebagai guru di sekolah maupun sebagai ibu bagi anak-anak saya, berusaha untuk bersikap wajar dan seimbang. Artinya, kebutuhan murid di sekolah harus tetap terakomodir, dan kebutuhan anak di rumah tak boleh terabaikan.

Hal pertama yang saya lakukan dalam menghadapi transisi atau penyesuaian belajar jarak jauh adalah, bagaimana mengedapankan MENTAL. Artinya apa? Artinya adalah, bagimana kita memastikan anak-anak bahwa belajar itu KEBUTUHAN. Bukan perkara pragmatis atau bukan sebuah orientasi praktis untuk memenuhi tugas sekolah. Dengan demikian, anak akan turut menanyakan atau "menagih" terkait tugas apa yang akan mereka dapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun