Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kehidupan Seekor Kunang-Kunang

24 Juni 2024   12:17 Diperbarui: 24 Juni 2024   12:28 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration by Shino | @mumu__161

Kurasa hari ini matahari tidak akan lagi terbit. Entah sudah berapa lama sang matahari terus-menerus bersembunyi di balik hutan-hutan beton dan kabut berwarna keabuan yang pekat akan kesedihan. Bintang-bintang yang harusnya menari  di langit malam kota ini sudah lama mati dan membusuk. 

Meskipun begitu, aku tetap merindukannya. 

Sepertinya aku tidak benar-benar tahu apa yang kurindukan. Matahari yang panasnya tak henti-hentinya membuatku  berkeringat hingga membuat orang-orang menoleh ke arahku dengan tatapan keheranan. Seolah aku ini adalah hewan yang langka, mereka akan terkikik setelah aku lewat di hadapan mereka. Panas matahari yang menyengat, serta bajuku yang basah karena keringat.

Aku menatap diriku yang nanar di hadapan cermin. 

"Menjijikan!" 

Entah untuk siapa sumpah serapahku itu kutujukkan. Untuk orang-orang yang kutemui sepanjang jalan ataukah sosokku di dalam cermin yang mulai berembun karena deru napas tertahanku. Kutatap diriku yang terbakar kemarahan. 

Seperti inikah wujudku yang asli?

Aku tidak tahu. Aku tidak pernah mengenal diriku sendiri. Aku tidak pernah mengerti apa yang sebenarnya sedang kucari atau keresahan apa yang begitu mencekikku hingga sekarat seperti ini. 

Memaafkan.

Kudengar aku harus belajar memaafkan. Untuk meraih ketenangan dalam hidup mereka bilang aku harus belajar memaafkan dan menerima semuanya dengan dada terbuka. Tapi begitu tameng itu kuturunkan, sebutir peluru dengan cepat menembus jantungku.

Aku segara meraih handuk yang tergantung di pintu kamarku yang mulai berjamur dan warna cat yang memudar. Aku keluar membantingnya dengan begitu keras, menahan jerit dan berlari ke kamar mandi. Tanganku memutar keran yang licin karena mulai berlumut, memenuhi bak mandi yang mulai menguning, lalu membenamkan diriku ke dalamnya. 

Air di sekitarku menjadi merah. Aku bisa melihat ada benang-benang merah keluar dari seluruh tubuhku. Aroma bau besi yang amis yang memuakkan merebak di kamar mandi ini. Aku akan melepaskan semuanya. Aku akan melepaskan diri dan membiarkanku terbang dengan bebas. Tidak ada yang boleh mengikatku lagi, tak peduli dengan sehelai rambut, sepintal benang, seikat rantai, ataupun sebilah pisau. Aku tak akan membiarkanmu mengikatku lagi.

Aku akan hidup meskipun kau coba bunuh berkali-kali. Aku akan melawan, meskipun yang bisa kukeluarkan hanyalah suara erangan tertahan. Karena itu, tumbuhlan. Tumbuhlah rumput liar dalam diriku. Biarkan duri-duri ini melindungimu saat aku menutup mataku. Izinkan aku tidur sebentar saja dan memimpikan kehidupanku sebagai seekor kunang-kunang yang begitu kurindukan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun