Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bulan Yang Kali Ini Benar-Benar Kehilangan Cahayanya

4 Juni 2023   22:48 Diperbarui: 3 Oktober 2023   20:56 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orang di dunia ini tahu, kalau bulan tidak pernah memancarkan cahayanya sendiri. Karena itulah dia harus menunggu malam untuk dapat menampakkan dirinya dengan pantulan cahaya matahari yang dia terima.

 

Akhir-akhir ini aku sering bertanya-tanya, apakah sang bulan pernah berpikir untuk mengalahkan sang matahari? Apakah dia pernah bermimpi untuk bersanding di siang hari bersama matahari? Apakah ada satu titik di tengah keberadaannya itu ia berpikir ingin menggantikan sang matahari?

 

Jika benar seperti itu, maka aku akan menjadi orang pertama yang mendukung sang bulan mati-matian. 

Orang-orang bilang, kita tidak akan pernah bisa melihat sisi gelap dari sang bulan, tapi aku tidak setuju. Yang sebenarnya terjadi adalah orang-orang itulah menolak untuk melihat sisi itu. Sang bulan, tidak pernah sekalipun menyembunyikan sisi gelapnya, meskipun begitu orang-orang tetap bersikeras menolaknya.

Baca juga: Anak-Anak Bintang

 

Pernah sekali aku memergoki sang bulan menangis. Ia menangis tanpa suara, bersembunyi di balik kabut-kabut tipis yang bergumul menjadi awan. Saat itu pukul 2 dini hari. Semua orang masih sibuk terlelap, dan sang bulan menangis sendirian. Aku tahu dia sedang ketakutan. Sama seperti diriku yang membenci sisi gelapku, sang bulan juga ingin menyingkirkan sisi gelap dari dirinya. Kami berdua sangat ketakutan dan tak berdaya.

Baca juga: Isolation

 

Meskipun begitu, aku tak dapat memeluknya. 

Aku ini bagaikan pungguk merindukan bulan. Aku tak bisa meraihnya. Aku ingin memeluk dan menghapus air matanya, tapi aku sama sekali tak dapat menyentuhnya. Aku tak punya cukup keberanian mengikat bintang-bintang dan mencambuknya untuk membawaku ke pangkuan bulan.

 

Aku melihatnya menangis dan menangis, meredupkan cahayanya. Pagi itu cahaya sang bulan pudar lebih cepat dari biasanya. Matahari terbit masih sangat lama, tapi sang bulan sudah sempurna menghilang dari tatapanku. 

Kali ini giliran aku yang menangis, aku tahu aku tidak akan pernah melihat sang bulan lagi.

 

Seorang gadis kecil dengan singlet putih dan rok kuning sependek lutut itu kemudian terbangun, menatap langit dari bingkai jendela. Dia berdiri di sana, tengah menanti bulan purnama kembali muncul melintasi jendela kamarnya. Dia tidak pernah tahu, bahwa bulan yang selama ini selalu menemaninya, tidak akan pernah lagi muncul dari balik jendelanya.

 

Pagi itu, sang bulan benar-benar kehilangan cahayanya. Untuk selama-lamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun