Aku ini bagaikan pungguk merindukan bulan. Aku tak bisa meraihnya. Aku ingin memeluk dan menghapus air matanya, tapi aku sama sekali tak dapat menyentuhnya. Aku tak punya cukup keberanian mengikat bintang-bintang dan mencambuknya untuk membawaku ke pangkuan bulan.
Â
Aku melihatnya menangis dan menangis, meredupkan cahayanya. Pagi itu cahaya sang bulan pudar lebih cepat dari biasanya. Matahari terbit masih sangat lama, tapi sang bulan sudah sempurna menghilang dari tatapanku.Â
Kali ini giliran aku yang menangis, aku tahu aku tidak akan pernah melihat sang bulan lagi.
Â
Seorang gadis kecil dengan singlet putih dan rok kuning sependek lutut itu kemudian terbangun, menatap langit dari bingkai jendela. Dia berdiri di sana, tengah menanti bulan purnama kembali muncul melintasi jendela kamarnya. Dia tidak pernah tahu, bahwa bulan yang selama ini selalu menemaninya, tidak akan pernah lagi muncul dari balik jendelanya.
Â
Pagi itu, sang bulan benar-benar kehilangan cahayanya. Untuk selama-lamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H