“Terima kasih banyak untuk hari ini, ya. Aku duluan.”
“Hati-hati, ya.”
Suara-suara itu terdengar tanpa henti bangai dengungan lebah dari ruang ganti ini. Aku tidak perlu cepat-cepat keluar dari sini. Seperti biasa, aku akan menjadi orang terakhir yang keluar dari tempat ini. Hanya dengan cara seperti itulah, aku tidak perlu berbasa-basi dengan orang lain.
Seharian bekerja saja sudah sangat melelahkan, aku tidak perlu tambah membuang-buang energiku untuk meladeni perkataan tanpa hati dari orang lain.
……
Langit kota ini selalu terlihat abu-abu dan menyedihkan. Kupikir, langit adalah cerminan dari hati orang-orang yang tinggal di sebuah kota. Segemerlap apapun bintang di langit, cahayanya tidak akan pernah bisa menembus kabut tebal dari hati orang-orang. Kesedihan, keputusasaan, perasaan terjebak, kebencian, kesepian dan kesedihan yang mendalam.
Tidak bisa melihat bintang-bintang di langit itu, membuatku merasa sangat kesepian. Aku yakin, aku bukanlah satu-satunya orang yang merasakan hal itu. Entah bagaimanapun seseorang mencoba mengelabui kehidupan kami dengan cahaya dari gedung-gedung yang gemerlapnya menyilaukan, tapi kerinduan pada sang bintang tidak akan pernah terbayarkan.
Memikirkan hal-hal seperti itu membuatku selalu ingin menangis. Meskipun begitu, meskipun sangat ingin menangis, aku harus menahannya. Aku harus mengeraskan hatiku untuk berjalan di atas duri-duri yang bertebaran di dunia yang busuk ini. Meskipun tersesat, aku harus menyingkirkan genangan air mata yang membuat pandanganku makin lama-makin buram dan menemukan jalan lain bagi diriku.
Tak peduli bagaimana akhirnya orang-orang meninggalkanku. Tak peduli walaupun tak ada orang yang bisa menemukanku dalam kabut gelap ini. Tak peduli bagaimana rasa kesepian ini nantinya membunuhku, aku hanya perlu terus berdiri.