Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Hari Nanti

3 Januari 2021   14:10 Diperbarui: 3 Januari 2021   16:36 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti apa kau melihat dan memaknai kehidupan ini? Kupikir, aku tahu tentang dirimu lebih  dari siapapun di dunia ini. Setelah banyak kisah yang kudengar darimu selama ini, kupikir aku bisa menjadi salah satu alasan untukmu bertahan lebih jauh bersamaku.

Aku ingat saat kali pertama kita bertemu. Saat itu aku yang berkutat dengan rantai sepeda, tidak lagi  memperdulikan langit yang tanpa ampun menghujaniku. Lagipula sedikit basah tidak akan membuatku mati kedinginan.

Aku tak punya cukup waktu untuk memperhatikan segala hal di sekitarku, tapi hari itu aku bisa melihatmu dengan jelas. Kau yang berdiri kaku di sebelahku sembari mencondongkan payung merahmu ke atas kepalaku, memaksaku mendongak ke arahmu. Mata kita bertemu dan waktu terasa berhenti begitu saja.

Ini aneh. Biasanya aku selalu bisa menerka apa yang sedang dipikirkan seseorang hanya dengan menatap matanya, tapi aku tidak bisa menemukan apapun dari matamu. Bagiku matamu terlihat seperti sebuah black hole yang terlalu gelap dan sulit dijangkau.

Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya kau pikirkan saat melihatku hari itu? Aku benar-benar tidak bisa menemukan apapun dari tatapanmu, begitu juga senyum yang coba kau guratkan di bibirmu.

Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tapi hari itu adalah pertama kalinya aku melihat ekspresi seburuk itu. Aku tidak pernah tahu kalau di dunia ini ada seseorang yang terlihat tidak cocok saat tersenyum. Kamu, kamu adalah satu-satunya orang yang membuatku berpikir seperti itu.

Tatapan kosong dengan gurat-gurat kesedihan menyelimuti raut wajahmu itu sama sekali tidak cocok bertemu dengan garis cekung di bibirmu. Itu terlihat sangat aneh dan yang lebih anehnya lagi, aku menyukainya. Ah, biar kukatakan sekali lagi dengan benar, aku menyukaimu.

Kita tak pernah menjadi siapa-siapa bagi satu sama lain, tapi keterikatan itu makin kuat setiap harinya. Aku menikmati setiap waktu yang kuhabiskan bersamamu. Aku menikmati suara bahkan diammu. Aku menyukaimu lebih setiap kata-kata dalam surat-suratku. Surat yang kutahu tak akan bisa kukirimkan padamu.

Kau ingat hari ulang tahun kita? Berulang tahun di hari yang sama denganmu adalah hadiah terbesar yang kuterima  selama ini. Entah itu kebetulan atau bukan, tapi hari saat  kita merayakannya di sebuah tempat tanpa nama itu adalah momen terbaik selama hidupku.

Kita tidak melakukan banyak hal selain makan sebuah kue tart dengan krim kocok dan menyalakan kembang api di tangan kita untuk mengimbangi gelap yang ada. Hari itu kita menghabiskan waktu yang lebih panjang dari malam-malam kita biasanya.

Malam itu, untuk pertama kalinya aku merasa tidak keberatan untuk terlihat lemah dan menyedihkan. Jika itu adalah dirimu, kupikir tidak masalah. Lagipula aku memang tidak sekuat itu.

"Kalau memang berat untuk berjalan seorang diri, kamu bisa bergandengan tangan denganku. Yaa... kalau kamu tidak keberatan, kita bisa belajar dan berjuang sama-sama. Sebenarnya aku juga tidak yakin kalau harus jadi kuat untuk menjadi sandaran ataupun seseorang  yang menggendongmu di tengah perjalanan nanti, tapi kalau hanya untuk memastikan kamu tetap berada dalam genggamanku, kurasa tidak masalah. Akan kupastikan kalau aku bisa hidup sampai 1000 tahun untuk bisa menemanimu dalam waktu yang lama. Bagaimana menurutmu?" Katamu.

Saat itu kembang api di tangan kita perlahan padam dan kehilangan percikkannya. Meskipun begitu, di mataku kau terlihat begitu bersinar dan membuatku tak bisa menahan diriku lagi. Aku memelukmu dengan erat, entah kenapa aku merasa kau  akan segera menghilang dari hadapanku dan berubah menjadi bintang yang tak akan bisa kugapai lagi.

Kuharap hari itu, aku bisa mengatakan semuanya. Saat memelukmu dengan erat, kuharap aku bisa mengatakan bahwa aku mencintaimu dengan yakin.  Kuharap, aku bisa kembali.

Harapan hanyalah harapan, karena yang tersisa bagiku saat ini hanyalah kenangan malam itu. Kau jauh lebih rapuh dari yang kutahu. Kau menangis dan menanggung hal-hal menyakitkan melebihi apa yang kudengar darimu. Tanpa  kutahu, kau memutuskan untuk menyerah dan meninggalkanku.

Sekarang,  yang tersisa hanyalah kata yang tak mungkin lagi bisa kusampaikan, surat-surat yang tak akan pernah lagi bisa kukirimkan, dan janji yang tak lagi mungkin untuk ditepati. Benar-benar tidak ada lagi kesempatan untukku mengatakan, "suatu hari nanti."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun