Malam itu, untuk pertama kalinya aku merasa tidak keberatan untuk terlihat lemah dan menyedihkan. Jika itu adalah dirimu, kupikir tidak masalah. Lagipula aku memang tidak sekuat itu.
"Kalau memang berat untuk berjalan seorang diri, kamu bisa bergandengan tangan denganku. Yaa... kalau kamu tidak keberatan, kita bisa belajar dan berjuang sama-sama. Sebenarnya aku juga tidak yakin kalau harus jadi kuat untuk menjadi sandaran ataupun seseorang  yang menggendongmu di tengah perjalanan nanti, tapi kalau hanya untuk memastikan kamu tetap berada dalam genggamanku, kurasa tidak masalah. Akan kupastikan kalau aku bisa hidup sampai 1000 tahun untuk bisa menemanimu dalam waktu yang lama. Bagaimana menurutmu?" Katamu.
Saat itu kembang api di tangan kita perlahan padam dan kehilangan percikkannya. Meskipun begitu, di mataku kau terlihat begitu bersinar dan membuatku tak bisa menahan diriku lagi. Aku memelukmu dengan erat, entah kenapa aku merasa kau  akan segera menghilang dari hadapanku dan berubah menjadi bintang yang tak akan bisa kugapai lagi.
Kuharap hari itu, aku bisa mengatakan semuanya. Saat memelukmu dengan erat, kuharap aku bisa mengatakan bahwa aku mencintaimu dengan yakin. Â Kuharap, aku bisa kembali.
Harapan hanyalah harapan, karena yang tersisa bagiku saat ini hanyalah kenangan malam itu. Kau jauh lebih rapuh dari yang kutahu. Kau menangis dan menanggung hal-hal menyakitkan melebihi apa yang kudengar darimu. Tanpa  kutahu, kau memutuskan untuk menyerah dan meninggalkanku.
Sekarang, Â yang tersisa hanyalah kata yang tak mungkin lagi bisa kusampaikan, surat-surat yang tak akan pernah lagi bisa kukirimkan, dan janji yang tak lagi mungkin untuk ditepati. Benar-benar tidak ada lagi kesempatan untukku mengatakan, "suatu hari nanti."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H