Stratifikasi sosial dalam masyarakat Hindu dikenal melalui sistem kasta, yang membagi masyarakat ke dalam beberapa lapisan atau kelompok berdasarkan kelahiran, pekerjaan, dan status sosial. Sistem ini memiliki akar sejarah yang dalam dalam ajaran agama Hindu, serta telah memberi dampak signifikan terhadap struktur sosial di India dan negara-negara Asia Selatan lainnya. Meskipun penerapan sistem kasta di India telah mengalami perubahan dan pembatasan hukum, pengaruhnya masih tetap terasa dalam kehidupan sosial. Untuk memahami lebih mendalam, penting untuk menelusuri asal-usul, perkembangan, dan dampak sistem kasta dalam masyarakat Hindu.
Sistem kasta adalah struktur sosial yang dibentuk berdasarkan pembagian kelas dalam agama Hindu, yang menentukan status sosial seseorang sejak kelahiran dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, seperti pekerjaan, pernikahan, dan interaksi sosial. Secara tradisional, sistem kasta terdiri dari empat varna utama: Brahmana (pendeta dan cendekiawan), Ksatria (prajurit dan penguasa), Waisya (pedagang dan petani), serta Sudra (pekerja dan pelayan) (Joyo, 2020). Di luar keempat varna utama ini, terdapat kelompok Dalit atau 'tak tersentuh' yang sering kali mengalami diskriminasi yang sangat kuat (Nainggolan, 2021). Memahami konsep dan struktur sistem kasta ini penting untuk menilai dampaknya terhadap masyarakat Hindu, baik di India maupun di Indonesia.
Sejarah dan perkembangan sistem kasta di Indonesia dimulai dengan kedatangan agama Hindu pada abad pertama Masehi. Agama Hindu, bersama dengan sistem kasta, menyebar ke berbagai kerajaan di nusantara, seperti Kerajaan Kutai, Tarumanegara, dan Majapahit, yang kemudian mempengaruhi struktur sosial masyarakat lokal (Natih, 2016). Pada masa kejayaannya, sistem kasta diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, terutama di Bali, yang menjadi pusat utama penyebaran dan pelestarian budaya Hindu. Perkembangan ini menciptakan hierarki sosial yang memengaruhi dinamika sosial dan budaya di masyarakat Indonesia.
Istilah "kasta" berasal dari bahasa Portugis/Spanyol, yaitu "casta," yang berarti ras atau golongan. Ketika bangsa Portugis datang ke India pada abad ke-16, mereka menggunakan kata "casta" untuk menggambarkan sistem pembagian sosial yang ada, yang dalam bahasa Sanskrit dikenal dengan istilah Varna. Seiring berjalannya waktu, istilah "casta" menjadi lebih dikenal dan digunakan secara luas di seluruh dunia, menggantikan istilah Varna atau Warna. Meskipun keduanya merujuk pada sistem pembagian sosial, istilah casta lebih populer di literatur internasional, sementara Varna tetap dipertahankan dalam konteks tradisional Hindu. Penggunaan istilah ini mencerminkan perbedaan pandangan antara masyarakat Eropa dan India terhadap sistem kasta.
Sistem kasta dalam agama Hindu merupakan sebuah struktur sosial yang sangat terorganisir dan hierarkis, yang membagi masyarakat menjadi beberapa golongan berdasarkan pekerjaan, peran sosial, dan tanggung jawab masing-masing. Sistem ini dikenal dengan nama Varna, yang terdiri dari empat kategori utama: Brahmana, Kshatriya, Vaishya, dan Shudra. Brahmana, yang berada di posisi teratas, terdiri dari pendeta, cendekiawan, dan guru agama, yang memiliki peran utama dalam menjaga dan mengajarkan ajaran agama. Kshatriya, golongan kedua, meliputi para pejuang, penguasa, dan pembela negara, yang bertanggung jawab atas keamanan dan kekuasaan. Golongan Vaishya terdiri dari pedagang, petani, dan pelaku ekonomi yang membantu menopang perekonomian. Shudra, yang berada di golongan paling bawah, meliputi pekerja dan pelayan yang menyediakan layanan dan pekerjaan fisik bagi golongan-golongan yang lebih tinggi.
Di luar empat golongan utama ini, terdapat golongan Dalit, yang juga dikenal sebagai "paria" atau "tidak tersentuh", yang berada di luar sistem Varna dan sering kali mengalami diskriminasi sosial yang berat. Dalit dianggap tidak layak berinteraksi dengan anggota golongan lain dan sering kali dipaksa untuk menjalani pekerjaan yang dianggap rendah atau kotor. Meskipun ajaran Hindu mengajarkan bahwa setiap golongan memiliki kewajiban moral atau dharma yang harus dijalankan, penerapan sistem kasta dalam kehidupan sosial sering kali menimbulkan ketidakadilan dan penindasan, terutama terhadap golongan yang berada di luar sistem utama, seperti Dalit. Sistem kasta, meskipun berakar pada ajaran agama dan filosofi Hindu, sering kali menjadi alat pengontrol sosial yang memperkuat ketidaksetaraan dalam masyarakat.
Masyarakat Jawa Kuno, seperti halnya masyarakat India, memiliki sistem pembagian sosial yang membagi masyarakat ke dalam beberapa golongan. Pada abad ke-10 M, sudah dikenal pembagian kasta yang serupa dengan yang ada di India, yaitu golongan Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Pembagian ini dikenal dengan istilah catur warna, yang secara harfiah berarti "empat warna" atau empat golongan. Golongan-golongan ini memiliki peran masing-masing dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Jawa Kuno, di mana Brahmana bertugas sebagai pemimpin agama dan upacara, Ksatria sebagai pelindung dan penguasa, Waisya sebagai penggerak ekonomi, dan Sudra sebagai pekerja dan pelayan.
Namun, meskipun dalam beberapa prasasti ditemukan penyebutan pembagian kasta, tidak dijelaskan secara rinci apakah pembagian tersebut seketat dan seformal di India. Sistem kasta di Jawa Kuno tampaknya lebih bersifat fleksibel dan tidak seketat yang ditemukan dalam struktur kasta di India, di mana pembagian kasta sangat mengikat dan diwariskan secara turun-temurun. Pembagian kasta di Jawa Kuno lebih cenderung mencerminkan pembagian sosial berdasarkan fungsi atau peran dalam masyarakat, tanpa adanya pembatasan ketat terhadap mobilitas sosial antar golongan. Dengan demikian, meskipun ada pembagian sosial, interaksi antara golongan-golongan ini mungkin lebih terbuka dibandingkan dengan sistem kasta yang ada di India (Haryono, 2001: 72).
Secara fungsional, kaum Brahmana dianggap sebagai individu yang memahami kitab-kitab suci Hindu dan memiliki pengetahuan tentang berbagai upacara keagamaan. Mereka dipandang mampu memberikan perlindungan terhadap kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi. Melalui kaum Brahmana inilah agama Hindu diperkenalkan dan berkembang (Oemar, dkk., 1994: 46-47). Golongan Brahmana memiliki peran utama dalam bidang keagamaan sebagai pemimpin upacara. Sebagai orang yang menguasai ajaran Hindu-Buddha, mereka juga berperan sebagai guru yang mengajarkan konsep-konsep keagamaan kepada murid atau siswa (Arrazaq, 2019: 6).
Berdasarkan prasasti dari masa Kerajaan Mataram Kuno, golongan Brahmana memang ada dan memiliki tugas khusus dalam bidang keagamaan. Dalam prasasti tersebut, terdapat golongan pejabat yang bertanggung jawab atas keputusan-keputusan terkait masalah keagamaan, yang disebut dengan istilah pamgat. Istilah pamgat atau sang pamgat ditemukan dalam Prasasti Kamalagi dan Munggu Antan. Berikut adalah kutipan dari prasasti tersebut.
Prasasti Kamalagi (743 Saka).