kataṅgaran. wa...(Wurjantoro, 2018: 376). Berdasarkan Prasasti Ramwi terdapat istilah tuha dagaŋ. Menurut Rahardjo (2011: 541) tuha dagaŋ merupakan pemimpin para pedagang. Keberadaan tuha dagaŋ menguatkan adanya kelompok. masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang. Para pedagang tersebut dipimpin oleh seorang ketua yang bernama tuha dagaŋ. Mengenai komoditas atau aktivitas perdagangan dijelaskan dalam pembahasan kehidupan ekonomi Kerajaan Mataram Kuno berdasarkan prasasti.
Golongan sudra berdasarkan prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang ditemukan di sekitar Candi Borobudur tidak menyebutkan hal tersebut. Tetapi, prasasti yang ditemukan di tempat lain dari masa Kerajaan Mataram Kuno menyebutkan golongan masyarakat biasa. Salah satu prasasti yang menyebutkan keberadaan golongan masyarakat biasa ialah Prasasti Luitan (823 Saka). Adapun kutipan prasasti tersebut sebagai berikut.
Prasasti Luitan (823 Saka)
3. muaŋ rakryān i pagarwsi anuŋ kinon manukura saŋ wahuta hyaŋ kudur muaŋ rowaŋ rakryān i pagarwsi sunguh pua ya an mahŐt ikana tampahnya tan wnaŋ manisi ta ru
4. an tŋah iŋ satampah muaŋ tan wnannya makatik 6inataan sambah nikanaŋ rāma masawaha lamwit 1 tampah 7 muaŋ makatik 4 apan samankana kirakrinya sampun i...
Terjemahan
3. dan Rakryān i pagarwsi. Yang diperintah mengukur adalah sang Wahuta Hyang ditemani Rakryān i pagarwsi. Ukuran tampah untuk sawahnya mengecil.
4. tidak mencukupi satu setengah setiap tampahnya dan tidak mampu mempunyai katik 6 orang, perkiraan sawah hanya 1 lamwit 7 tampah dan mempunyai katik 4 orang (BPCB Jawa Tengah, 2016: 18-19).
Berdasarkan Prasasti Luitan terdapat golongan masyarakat yang disebut katik. Lebih lanjut Zoetmulder (1994: 473) menjelaskan bahwakatik diartikan sebagai pembantu. Keberadaan katik dapat menggambarkan bahwa terdapat golongan masyarakat kelas bawah pada masa Kerajaan.
Selain empat kasta utama, ada kelompok yang terpinggirkan yang tidak masuk dalam pembagian Varna yang disebut Dalit (sebelumnya dikenal dengan sebutan "tak tersentuh" atau untouchables). Dalit sering kali dihubungkan dengan pekerjaan yang dianggap "kotor" dan "tidak murni", seperti pengelolaan limbah, pekerjaan kulit binatang, dan pembersihan sampah. Karena pekerjaan mereka yang dianggap tercemar, Dalit dipandang lebih rendah dan terpisah dari kehidupan sosial utama.
Dalit mengalami diskriminasi yang sangat kuat dalam kehidupan sehari-hari, dan mereka sering kali dilarang berinteraksi dengan anggota kasta lebih tinggi. Mereka juga menghadapi pembatasan dalam hal pendidikan, akses pekerjaan, dan bahkan hak untuk tinggal di wilayah tertentu. Meskipun diskriminasi terhadap Dalit telah dilarang oleh konstitusi India sejak 1950, dalam praktiknya, ketimpangan sosial masih sering terjadi.