Mohon tunggu...
Mia Nurkamila
Mia Nurkamila Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

@mianurkamila_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jangan Takut dan Coba Lagi

23 Februari 2021   22:21 Diperbarui: 23 Februari 2021   22:48 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di pagi nan cerah yang diiringi lantunan suara burung bernyanyi dengan indah, ada lekuk sabit yang timbul dari bibir seorang Ibu yang sedang terbaring di rumah sakit. Udara sejuk pagi seolah menusuk ruas ruas pada kulit, memberikan kesejukan kepada orang yang merasakan. Tangisan yang sangat kencang menandakan lahirnya seorang putri yang sangat cantik. Pagi itu, lahirlah seorang anak wanita yang bernama Alana Kamila Rahman. Kehadirannya seolah sudah ditunggu dengan hangat oleh dunia.

   Aku Alana Kamila Rahman. Aku lahir di Bandung,08 April 2003. Aku lahir dari keluarga bahagia, dari seorang Ibu yang sangat cantik, baik, penyayang, dan hebat tentunya. Ibuku berprofesi menjadi guru agama di salah satu Sekolah Dasar. Aku juga punya Ayah yang sangat baik hati, tulus kasih sayangnya yang sekarang sudah jauh sekali dari aku dan keluargaku. Ya, Ayahku sekarang ada di tempat terbaik di sisi Allah. Oh iya,aku tidak melupakan satu hal juga. Aku punya kakak laki-laki yang sangat menyebalkan, sikapnya yang seperti cuek tapi sebenarnya sayang juga kepada keluarga.

   Aku punya hobi berenang, bernyanyi. Tapi bagiku, bernyanyi bukan sekedar hobi saja,orang orang berkata bahwa itu adalah bakatku dan aku percaya itu. Kalau sedih, pas banget dibawa nyanyi sambil bawain lagu-lagu sedih tuh.

  Aku Ana. Sejak kecil aku sangat ingin menjadi guru. Bahkan sampai sekarang, cita-cita aku ga pernah berubah, aku selalu ingin menjadi guru. Rasanya unik dan menyenangkan jika aku menjadi guru. Setiap hari, aku akan bertemu orang-orang yang semangat mencari ilmu, bisa berbagai pengetahuan juga dengan orang-orang. Tapi engga sampai disitu aja, aku punya banyak cita-cita. Aneh kan? Aku ingin jadi guru, penyanyi terkenal, ingin jadi penulis hebat, ingin jadi psikolog klinis juga.

   Aku Alana dan biasa dipanggil Ana. Tidak sedikit orang yang menganggap bahwa aku hidup tanpa kesedihan, tanpa masalah, tanpa beban.sebagian besar mengatakan bahwa hidupku selalu enak. Padahal aku juga sama-sama manusia seperti orang-orang diluar sana yang bisa merasakan sedih, senang, tertawa, bahagia. Aku juga sama  seperti manusia yang lainnya, hidupku penuh juga dengan lika-liku, penuh dengan tantangan yang luar biasa, penuh dengan kebahagiaan yang tiada tandingannya menurutku. Tapi aku bersyukur atas itu, sulitnya aku, susahnya aku, sedihnya aku, jatuhnya aku mungkin tidak mereka tau sehingga akhirnya mereka menyimpulkan bahwa "hidupku selalu baik-baik saja". 

   Dari aku kecil bahkan mungkin hingga saat ini,perjalananku engga lurus lurus aja. Tentunya banyak sekali lika-liku yang aku hadapi. Sedari kecil aku selalu dihantui rasa gagal,padahal aku sudah yakin akan berhasil dan tidak akan gagal lagi,lagi,dan lagi.

   Saat itu,aku sedang duduk di bangku kelas 6 SD. Hal yang sudah biasa di lakukan di tingkat akhir adalah memikirkan dan membicarakan langkah Pendidikan yang akan di tempuh selanjutnya. Berhubung saat itu aku duduk di bangku kelas 6 SD,maka aku dan teman-temanku sering berbincang mengenai Sekolah Menengah Pertama yang akan dipilih.

"Jeng,mau lanjutin sekolah kemana nih?" tanya Adinda.

"Aku mau lanjut ke sekolah favorit dong, SMPN 1 Aksara. Kamu tau sekolah itu kan din?" Jawab Ajeng.

"Jelas lah aku tau, toh aku juga pengennya sekolah kesitu. Oh iya Na, kamu mau lanjut ke sekolah mana nih?" Ujar Dinda

Dengan rasa percaya diri yang penuh aku menjawab "Aku pun ingin masuk SMPN 1 Aksara Din,Jeng. Do'akan ya semoga kita semua bisa masuk ke sekolah favorit itu dan jangan lupa belajarnya harus lebih semangat"

"Iya Na,kita semua harus semangat belajar agar kita masuk ke SMPN 1 Aksara ya."

Kami menguatkan tekad satu sama lain, tersenyum dengan penuh harapan yang sangat tinggi untuk masuk ke sekolah favorit itu.

   Sejak saat itu, usaha yang aku sendiri lakukan, aku juga kuatkan. Betapa inginnya aku masuk sekolah yang aku dambakan. Pagi, siang, soreku dihabiskan juga untuk belajar agar aku lebih siap ketika Ujian Nasional tiba.

   Satu hari sebelum ujian aku meminta restu dan ridha orang tua. Aku basuh kaki ibuku, aku ucapkan kata maaf yang keluar dari mulutku,serta aku meminta agar di doakannya aku agar diberi kelancaran saat ujian. Sebenarnya bukan hanya dengan membasuh kaki saja untuk meminta restu dan ridha orang tua. Banyak hal yang lain yang bisa dilakukan. Namun,entah kenapa saat itu aku ingin membasuh kaki Ibuku saja.

"Bu, besok aku ujian. Boleh aku basuh kakinya untuk meminta restu dan ridha agar dilancarkan ujiannya."

Ibu pun membolehkanku untuk membasuh kakinya. Perlahan, aku usap kakinya dengan penuh kehangatan. Sedih, ingin menangis, dan malu perasaanku saat itu. Tingkahku yang mungkin masih kekanak-kanakan tiba -tiba terlintas di fikiranku yang betapa menyusahkannya aku. Tak lupa, aku pun meminta maaf kepada Ayah sekaligus meminta restu juga. Sampai akhirnya hari ujian pun tiba.

   Jantungku berdegup sangat kencang, kekhawatiranku muncul sejadi-jadinya. Namun, restu orang tua lah yang membuatku untuk tetap tenang.

"Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma yassir wala tu'assir. Yaallah,permudah dan jangan dipersulit." Do'a itu yang selalu aku ucapkan selama berlangsungnya ujian.

   3 hari berturut-turut, betapa seringnya aku membaca do'a itu. Sampai akhirnya ujian selesai, aku berpasrah apapun dengan hasilnya. Yang terpenting aku sudah berusaha semampuku untuk mecapai impianku.

   Pengumuman hasil ujian pun tiba. Aku percaya diri bahwa aku akan mendapatkan hasil yang baik, nilai yang menyenangkan dan memuaskan. Aku berangkat untuk mengambil hasil ujian itu bersama ibu. Di gandengnya tanganku oleh ibuku dari berangkat ke sekolah sampai sepulangnya dari sekolah. Sampai akhirnya tiba di rumah. Aku membuka hasil ujian itu dengan ibuku.

   Raut wajah yang tidak menyenangkan dan perasaan hati yang tidak mengenakan menjadi gambaran hasil ujian saat itu. Ternyata benar, apa yang aku harapan sangat tinggi, apa yang aku dambakan dengan teramat sangat, jatuh begitu saja di hari itu. Aku mendapat hasil yang tidak sesuai dengan ekspetasiku. Semakin jauh harapanku untuk bisa masuk ke sekolah favorit itu. Air mataku jatuh mengalir deras dengan sendirinya. Kecewa? Tentu,banget malah. Nyerah? Iya,aku bertekad nyerah hari itu. Aku selalu menyalahkan diri sendiri seolah-olah usaha yang aku lakukan tidak cukup. Aku lihat tawa bahagia temanku yang bisa meraih sekolah impiannya.  Hari-hariku terisi dengan kesedihan sampai aku bingung kemana lagi aku harus melangkah.

   Hari hari yang menyedihkan itu diberi dukungan kuat oleh ibuku  dan bapakku sampai akhirnya aku bangun,aku bangkit,aku lapangkan dada seluas-luasnya untuk berani menerima kenyataan yang ada.

   Dengan berat hati, saat itu aku masuk Madrasah Tsanawiyah swasta. Mau gamau sih sebenernya, tapi ya gimana lagi. Pada kenyataannya ekspetasi ga selalu beriringan dengan realita.

"Mau masuk kemana jadinya? Sekolah swasta gapapa kan?" tanya Ibu saat itu

Seandainya bisa berkata jujur saat itu, mungkin saja aku bilang ya engga ada yang gapapa.

"Iya gapapa,yang penting sekolah saja dimanapun sekolahnya" Jawabku saat itu.

   Hari pertama masuk sekolah tentu akan ada ospek dulu untuk siswa baru. Hari pertama aku diantar ibu ke sekolah. Pagi hingga sore aku menikmati kegiatan itu, aku mulai berkenalan dengan orang baru,aku harus mulai beradaptasi dengan lingkungan ataupun sekolahnya.  

Aku melihat layar ponsel yang aku pegang saat itu dan aku baca satu per satu pesan yang masuk ke ponselku,

"Neng,gimana ospek nya rame?" tanya Ayah saat itu.

Entah apa yang aku rasakan, aku pikirkan, sampai bisa-bisanya aku membalas dengan kata " Gajelas,aku ga betah sekolah disini ayah".

Siapapun yang bertanya mengenai sekolah saat itu,jawabanku sebenarnya selalu sama. Aku akan mengatakan bahwa aku tidak betah.

   Hari demi hari,seiring dengan berjalannya waktu,pelan-pelan aku mulai menerima kenyataan lagi,aku memang benar-benar harus ikhlas dan tidak bisa berkata "aku engga betah" terus-terusan. Aku bisa beradaptasi baik dengan teman ataupun sekolah. Aku juga sering sharing tentang sekolah dengan teman-temanku.

"Kalian betah ga sekolah disini?" Tanya salah satu temanku secara tiba-tiba.

"Kalau boleh jujur,aku ga betah sekolah disini." Jawab Syifa

"Loh kok sama? Kamu ada niatan pindah sekolah ga sih? Tanya Annida kepada kami yang saat itu sedang berkumpul

"Rencana sih ada dan pengen juga. Kamu gimana,Na? Kamu betah ya sekolah disini? Tanya Nurul kepadaku

"Kalau boleh jujur juga sih sebenernya engga betah. Tapi ya gimana lagi mau gamau harus dijalani dulu."

"Kok kita bisa samaan semua sih? Terus kamu ada niatan pindah sekolah, Na?

"Pengennya sih begitu. Kalaupun iya, pindahnya engga sekarang,palingan nanti di kelas 8"

Banyak sekali perbincangan kami saat itu, sampai pada akhirnya kita saling menyemangati dan menguatkan satu sama lain agar bisa lebih betah dan nyaman di sekolah ini.

   Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku mulai menerima kenyataan baru. Mulai ikhlas dan terbiasa dengan keadaan ini. Aku sekolah dengan baik dan berprestasi, aku juga beradaptasi baik dengan lingkungan sekolah ini.

   Aku tiba di hari pembagian raport tengah semester 1 di sekolahku. Apapun yang ada hubungannya dengan sekolah, aku selalu diantar ibu. Campur aduk rasanya, takut mengecewakan lagi,takut tidak bisa memberikan yang terbaik lagi. Tapi ternyata hari ini berubah, ketakutanku menjadi kebahagiaan yang luar biasa. Aku mendapat ranking 1 di kelas. Sebelumnya tidak pernah menyangka kalau aku akan menjadi ranking 1 di kelas. Seolah hari itu adalah pembuktian bahwa aku belajar sungguh-sungguh dan kebetulan sekolahku saat itu sangat melarang keras berpacaran baik dengan orang satu sekolah ataupun di luar sekolah.

   Setelah dijalani lebih lama, ternyata jadi agak betah juga sekolah disini. Ada guru-guru yang baik hati dan sabar ketika mengajar, ada teman-teman yang baik hati juga yang selalu bersamaku.

     Entah apa yang terjadi hari ini, tiba-tiba saja teman pria satu kelasku berbicara aneh, bersikap tidak seperti biasanya. Teman pria satu kelasku ada yang menyatakan bahwa dia menyukaiku dan ingin menjadikan aku sebagai pacarnya. Aku tersontak kaget sekali ketika mendengar itu. Mungkin ini terkesan agak lebay,  tapi ya seperti inilah kenyataannya.

"Na, aku menyukaimu. Kamu mau jadi pacar aku?" Tanya Haikal

Aku yang merasa bingung mendengarnya, jujur gatau harus bicara apa. Tapi aku juga berhak menjawabnya berdasarkan keputusanku.

"Maaf, Kal. Bukan waktunya jika aku menerima ajakanmu. Aku tidak bisa ya." Jawabku kepada Haikal

   Mungkin saat itu Haikal kecewa atas jawabanku untuknya. Tapi apa boleh buat? Aku hanya ingin mengikuti hatiku dan aturan sekolahku yang melarang keras berpacaran. Lagian aku juga sedang beradaptasi agar betah di sekolah ini.

Aku berfikir bahwa sejak saat itu semua akan baik-baik saja, tidak akan ada pihak yang merasa kecewa atas ucapanku saat itu. Tapi ternyata aku salah, sangat salah.

   Keesokan harinya aku berangkat sekolah agak siang dari rumah. Seturunnya dari angkot, aku berjalan sendirian dari depan gapura sampai sekolah. Seperti biasa, sesampainya di sekolah banyak sekali orang-orang yang selalu menunggu bel berbunyi di luar kelasnya. Aku tersenyum kepada orang-orang yang menyapaku sepanjang aku berjalan ke kelasku dan setibanya aku di kelasku.

   Entah bagaimana jelasnya, teman sekelompok Haikal bersikap aneh kepadaku,mereka tidak seperti biasanya,dan bahkan bukan mereka yang ku kenal.

"Hahaha,mukamu jeleknya seperti orang di kelas sebelah yang penyakitan." Oceh salah satu temannya.

"Ih iya, kamu mirip hewan yang kaya manusia gitu loh, Na."

   Saat itu aku anggap itu sebagai candaan biasa saja. Aku berpikir mungkin karena mereka terlalu suka becanda jadi ya mungkin berkata seperti itu kepadaku. Namun, setelah dirasasakan dan dipikirkan lebih lama,itu bukan candaan biasa saja. Logikanya, apakah mungkin berbicara hal yang sama setiap hari? Apakah mungkin becanda hal itu-itu saja setiap hari?.

   Ternyata memang benar,itu bukan semata-mata candaan yang aku anggap biasa saja. Mereka mengolok-olok aku setiap hari. Mereka mengatakan hal-hal buruk setiap hari. Aku berpikir bahwa orang tuaku saja tidak pernah berkata buruk atau bahkan kasar kepadaku. Bohong jika aku berkata aku baik-baik saja saat itu. Aku menangis setiap pagi, setiap aku datang ke sekolah, itu seolah menjadi makananku setiap hari.

"Na, yang sabar ya. Ini bukan salah kamu kok." Ucap nurul sambil mengusap punggungku

"Udah ya nangisnya,biarkan mereka mengolok sepuasnya sampe mereka cape." Ucap Syifa kepadaku.

Tidak banyak orang yang menemani aku saat di masa-masa sulit itu. Tidak sedikit juga orang yang turut mengolok-olok aku. Rumit rasanya. Aku dihantui dengan rasa takut,dihantui juga dengan pertanyaan "apakah aku salah saat itu?." Aku tidak bisa bertindak apa-apa, aku tidak bisa kemana-mana. Keadaan menuntutku untuk sabar dan tetap diam di keadaan itu.

"Na, kamu pasti bisa. Kamu jangan pindah sekolah ya,kamu harus betah disini." Ucap Nurul, Syifa, dan Nida.

   Aku hanya manusia biasa. Aku bisa lelah, bisa cape, bisa menyerah dengan masa sulit yang aku alami. Bohong juga jika aku berbicara bahwa sabar itu ada batasnya. Orang sabar tidak akan pernah bicara mengenai sampai mana batas sabarnya. Tapi aku ya aku, ini Ana. Anak kelas 7 SMP yang harus dibully habis-habisan. Aku tahan segalanya selama kurang lebih 1 tahun. Apa itu masih kurang atau sudah lebih dari cukup atau bahkan keterlaluan?

   Pada akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara kepada orang tuaku tepat sebelum pelaksanaan Ujian Tengah Semester dengan syarat tidak boleh melapor ke pihak sekolah karena aku sendiri merasa kasihan kalau teman-temanku harus berurusan dengan pihak sekolah. Aku tidak ceritakan rinci mengenai seperti apa yang terjadi sebenarnya. Perlahan,aku bicara mengenai apa yang terjadi di sekolah. Tanpa aku sadari air mata jatuh sendirinya ketika aku mulai berbicara. Orang tua mana yang menginginkan anaknya bersedih? Orang tua mana yang tidak marah ketika anaknya dilukai? Seorang ayah seperti apa yang rela putri kecilnya menangis tersedu-sedu dilukai orang lain?

   Ayah dan Ibu hanya bilang sabar dan tidak perlu ditanggapi lagi orang-orang seperti mereka. Mungkin mereka menyarankan seperti itu karena mereka tidak pernah tau kejadian rincinya. Namun, aku sendiri sudah tidak kuat dengan sikap-sikap mereka.

"Na,Ibu dan Ayah sangat paham. Kami memang tidak pernah melakukan hal yang teman-teman kamu lakukan di sekolah. Namun,untuk saat ini yang perlu kamu lakukan cuma 1,yaitu sabar dulu. Nanti mereka tidak akan melakukan hal-hal buruk lagi kok."

   Aku yang bersikeras meminta untuk pindah sekolah saja semakin menangis mendengar jawaban kedua orang tuaku. Aku tidak setuju kalau aku tetap ada di kelas itu. Hal tersebut hanya akan membuatku semakin terluka dan tertekan saja.

   Tidak satu atau dua kali aku berbicara untuk pindah sekolah, tapi orang tuaku tidak pernah menggubrisnya. Mungkin mereka bisa mengatakan bahwa ini hanya permasalahan biasa di kalangan remaja.

   Sampai pada akhirnya aku nekat untuk pergi dan menginap di rumah saudaraku tanpa sepengetahuan orang tuaku. Aku diminta pulang ke rumah saat itu juga. Setelah sampai dirumah, aku membicarakan ini kembali. Akhirnya orang tuaku menyetujui apa yang aku inginkan dengan syarat harus ranking 1 di semester 1 dan semester 2. Ya mau tidak mau tentu menyetujui persyaratannya. Sejak saat itu, aku terus-terusan belajar. Secara tiba-tiba aku menjadi orang yang sangat ambisius.

   Aku sudah melewati ujian-ujian sekolah dengan sangat baik. Sampai tiba di waktu pengambilan raport semester 1,aku mendapat ranking pertama. Jujur ga pernah terbayang senengnya kaya apa,tapi seengganya aku tinggal menuju 1 jalan lagi untuk pindah dari sini. Apa belajarku cukup sampai disitu saja? Ya jelas engga.

   Setelah itu aku harus berjuang lagi,harus lebih sabar lagi untuk mencapai satu jalan yang harus aku lalui juga. Cape sih iya, tapi itu semua akan berbuah indah kalau aku mau sabar dan ikhlas.

   Aku sudah tiba di waktu pengambilan raport semester dua. Berkat belajarku yang keras,tekad yang kuat,aku mendapat ranking 1 lagi. Senangnya hari itu tidak bisa digambarkan sama sekali. Perasaanku lega karena telah melewati masa-masa sulit itu. Aku sudah sampai di hari bahagia yang aku nantikan.

    Ternyata apa yang aku harapkan tidak langsung diwujudkan saat itu juga. Banyak hal yang menjadi pertimbangan lagi saat itu. Kecewa banget rasanya. Kaya kamu sudah dijanjikan sesuatu yang indah, tapi sesuatu itu tiba-tiba ngilang aja gitu. Tapi hal itu ga berlangsung lama kok. Mungkin Ayah Ibuku engga tega lihat aku seperti tertekan terus-terusan. Akhirnya ayah membuat keputusan untuk aku pindah sekolah saja.

"Ayah sudah berbicara dengan ibu, besok kita ke sekolah urus surat pindahnya ya."

Mataku berbinar, betapa baiknya mereka. Jujur, aku sendiri engga tega juga ninggalin teman sebangku aku. Tapi ya seperti ini keadaannya, aku gabisa terus-terusan ada di fase itu.

"Ayah,Ibu. Makasih banyak udah mau ikutin yang aku mau. Aku juga udah buktiin kalo aku bisa ranking 1 selama kelas 7. Maaf sudah merepotkan ayah dan Ibu." Jawabku yang merasa terharu.

"Jangan nangis-nangis lagi. Besok ke sekolah urus surat pindahnya ya."

   Esok harinya aku dan Ayah serius dating ke sekolah untuk meminta surat pindah. Mungkin guruku bertanya-tanya mengenai alasanku yang tiba-tiba pindah begitu saja.

"Silahkan masuk,Pak. Biar saya buatkan surat pindah dahulu." Ucap guruku

"Baik bu." Jawab Ayahku sambil berjalan memasuki ruang guru bersamaku.

   Selama beberapa menit kami menunggu surat pindahnya keluar, ada sedikit rasa sedih yang tersirat di benakku. Kadang aku berfikir bagaimana nasib teman sebangkuku.

"Surat pindahnya sudah jadi,Pak."

"Terimakasih banyak bu, mohon maaf apabila selama sekolah disini anak saya banyak salahnya."

"Sama-sama Pak, maafkan saya juga selaku wali kelasnya ananda Alana apabila banyak kurangnya."

   Kami berpamitan kepada guru yang ada di sekolah dan bergegas untuk pulang. Lega sekali rasanya,seolah beban satu persatu menghilang. Jika saja aku tidak sabar hari itu, mungkin saat ini aku tidak akan mendapatkan apa yang aku inginkan.

"Sudah ya, lunas. Semoga di sekolah baru mendapatkan lingkungan yang baik. Jangan nangis lagi ya,nak."

  Hatiku menangis juga sebenarnya, sekeras itu orang tuaku mengusahakan agar aku mendapat tempat yang nyaman,agar keinginanku dapat terpenuhi. Kulihat mata Ayah dan Ibuku yang sangat tulus memberikan kasih sayangnya. Apapun diberikan tanpa kata tapi dan percuma. Seribu kata maaf terucap di dalam hatiku secara tiba-tiba.

   Setelah keputusan aku bulat untuk pindah sekolah, pesan-pesan dari temanku bermunculan dari layar handphoneku.

"Na, kamu beneran pindah?."

"Na, kamu tega ninggalin aku dan pindah gitu aja?."

"Na, karena apa kamu bisa sampai pindah sekolah?"

"Na, ayolah jangan pindah. Sabar aja dulu."

 Tak banyak kata yang aku ucapkan kepada mereka. Aku juga berhak memilih apa yang menurutku terbaik. Aku tidak bisa menggantungkan hidupku di orang lain. Aku tidak ingin menyakiti diri sendiri lagi. Aku juga perlu bahagia dengan jalanku sendiri.

   Esok harinya aku dipindahkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri yang terdapat di salah satu kota kami tinggal.

"Bismillah dulu, sarapan dulu , semoga kali ini diberi tempat yang aman dan nyaman." Begitu kata Ibuku.

   Aku diantar ayah untuk pergi ke sekolah baru. Awalnya mungkin akan terasa amat sangat asing. Wajar, aku hanya anak baru yang akan melanjutkan pendidikan bersama teman-teman baru di sekolah itu. Anehnya, meskipun aku merasa asing, aku merasa aman dan sangat nyaman disitu.

"Hai, kamu anak baru ya?." Ucap salah satu murid lama disana yang bernama Hanifah

 "Iya, aku anak baru disini." Jawabku kepada Hanifah

"Siapa nama kamu?"  Tanya murid di sekolah itu yang bernama Aisyah

"Alana Kamila Rahman,namaku. Salam kenal ya."

   Sangat mudah sekali caraku berkenalan dengan teman-teman baru disana. Hari demi hari aku lalui dengan perasaan yang sangat bahagia. Aku senang sekali sekolah disini. Aku seperti menemukan dunia baru disini.

"Hei, pulang bareng yuk." Ajak Hanifah dan Aisyah

"Iya yuk pulang bareng sama kita." Kata Aisyah

   Aku sangat dekat dengan mereka, bahkan sampai lulus SMA pun aku masih menjalin komunikasi dengan baik. Setiap hari aku lalui, aku jalani untuk bersekolah disitu.

"Ga kerasa ya, udah kelas 9 aja sekarang. Bakalan banyak ujian-ujian nih."  Ujar aku kepada Aisyah dan Hanifah

"Wah bener juga ya. Bakal sibuk banget juga kayanya."Jawab Aisyah

"Bener banget. Pokonya kita harus semangat!" Ucap Hanifah

   Sesuatu yang dijalani dengan ikhlas dan bahagia, akan membuat bahagia juga dengan rasa lelah yang tak terasa. Sebaliknya, sesuatu yang dijalani dengan tidak ikhlas dan tidak bahagia, hal itu hanya akan membuat diri kita semakin terluka dan tersiksa.

   Beberapa hari lagi, ujian akan tiba. Aku dan teman-temanku juga tentu punya target sekolah mana yang ingin kami pilih. Untuk menggapai mimpi tersebut, jelas kita semua engga diem-dieman aja. Pagi, siang, sore, malam, kami usahakan untuk belajar segiat mungkin.

 "Na, kamu bakalan les ga?" tanya Hanifah

"Wah engga tuh, aku belajar sendiri aja semaksimal mungkin."

"Sama, Na. Aku juga belajar sendiri. Kamu gimana Fah? Tanya Aisyah

"Aku mau les, Na, Ca. Orang tuaku menyarankan agar aku ikut les. Soalnya aku agak kesulitan juga kalo belajar sendiri."

"Oalah, semangat yaaa!" begitu jawabku

"Semangat, harus semangat pokonya!" kata Aisyah dan Hanifah berbarengan.

   Di tengah-tengah persiapan ujianku, aku ditinggal Ayahku. Ayahku pergi sangat jauh dan tidak akan kembali lagi. Ingin menyerah saat itu juga rasanya. Aku bertanya-tanya mengapa harus seperti ini saat aku belum siap menerimanya?saat aku masih butuh ayahku untuk menemani perjalanan suksesku. Sulit untuk bisa bangkit dari masa itu. Tapi ternyata life must go on. Aku engga bisa kalo harus berdiam diri disitu-situ aja. Aku gabisa meratapi kepergian ayahku terus-terusan.

   Pagi itu aku terbangun dan mulai menyadari segalanya. Aku sadar, ini semua jauh diluar kendali manusia. Tidak ada yang kekal di dunia ini dan sudah semestinya seperti ini. Aku bangkit hari itu. Aku ingin melihat Ibuku dan Ayahku bahagia jika aku sukses

   Ujian Nasional pun tiba. Ternyata aku dan Hanifah beda sesi waktu ujian dengan Aisyah. Aisyah kebagian di sesi 1, aku dan Hanifah kebagian di sesi 2. Walau begitu, aku yang sesi 2 tetap harus bangun jauh lebih pagi untuk sholat dan belajar. Artinya, ya engga berleha-leha dan bisa santai-santai juga.

"Yah, ternyata aku engga satu sesi sama kalian." Keluh Aisyah

"Ya gapapa dong, Ca. Kita masih bisa ketemu juga kok di sekolah." Ujar Hanifah

"Iya ca gapapa. Walaupun sesi ujian kita beda, tapi kita bakal masuk Sekolah Menengah Atas impian kita sama-sama." Jawabku

"Yaudah deh, kalian semangat ya Hanifah dan Alana yang cantik."

"Kamu juga harus semangat ya Aisyah yang cantik." Ucap aku dan Hanifah

   Hari pertama sampai hari terakhir waktuku dihabiskan untuk beribadah dan belajar. Paginya aku pergi ke rumah temanku untuk belajar,sholat duha,tadarus sama-sama sambil menunggu sesi ujian. Sepulang sekolah sampai malem dihabiskan untuk belajar juga, aku juga tidak membuka hp sama sekali sampai waktu ujian selesai.

   Selama empat hari berturut-turut,ujian pun selesai. Aku melaksanakan ujian dengan baik. Aku berusaha keras dalam bayang-bayang takut akan kegagalan lagi,lagi,dan lagi.

"Usaha lebih keras dulu yuk, hasilnya biar yang di atas yang atur. Semangat dan jangan takut gagal ya." Kataku untuk teman-temanku.

   Setelah ujian selesai, aku beraktivitas seperti biasanya sampai hari pengumuman hasil ujian dan kelulusan tiba. Aku meyakinkan diri untuk mendapat hasil yang terbaik. Ditambah support dari sahabat-sahabatku yang tidak ada habisnya.

"Apapun hasilnya, itu yang terbaik ya. Kita sudah berusaha sekuat mungkin."

   Tiba di hari penguman hasil ujian. Jantungku berdegup amat sangat kencang. Pikiranku kesana-kemari. Tergambar wajah kedua orang tuaku di hadapanku. Terbayang juga sekolah impian tepat di depan mataku.

"Alana Kamila Rahman" panggil wali kelasku

Langkah yang terasa sangat gugup serta degup jantungku yang sangat kuat membawaku berjalan ke arah ibu guruku.

"Apapun hasilnya, ini yang terbaik. Semoga sukses ya, Alana." Ujar guruku

"Baik Ibu. Aamiin, terimakasih banyak bu." Jawabku

   Aku berpamitan untuk pulang dan berjalan ke arah pintu keluar. Sepanjang jalan pikiranku tidak bisa fokus,bayangan kegagalan selalu muncul di kepalaku. Takut, sangat takut sekali.

   Sesampainya dirumah, aku buka hasil ujian itu bersama ibuku.

"Bismillahirrahmanirrahim. Yaa Allah, apapun hasilnya ini pasti yang terbaik. Engkau maha mengetahui segalanya." Do'aku saat itu.

   Mataku menahan air mata agar tidak tumpah tepat ke pipiku, raut wajahku seolah memaksaku untuk bersedih.  Ya, hari itu aku merasa gagal lagi. Aku mendapatkan hasil yang kurang baik, lagi. Sedih dan kecewa banget rasanya. Mimpiku jatuh terlalu jauh sampai aku sulit untuk menggapainya. Hatiku dipenuhi dengan pertanyaan kenapa harus aku lagi?

   Aku mencoba jalur anak guru untuk masuk ke sekolah impianku. Besar sekali harapanku untuk masuk ke sekolah itu. Aku hanya bermodalkan nilai ujian yang tidak begitu tinggi, jarak rumah yang sangat jauh, serta do'a.

   Ternyata hasilnya sama saja. Aku dinyatakan tidak lolos karena ternyata jarak rumah yang jauh mempengaruhi penilaian juga. Jatuh lagi, kecewa lagi, sedih lagi. Aku semakin takut untuk melangkah lagi.

   Akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke sekolah negeri yang satu wilayah dengan rumahku. Dengan rasa percaya diri, penuh keyakinan dan do'a, aku gantungkan harapanku disana. Aku sudah ikhlas. Terserah dan gimana baiknya saja.

   Kulihat selembaran kertas pengumuman yang berisikan pernyataan bahwa aku lolos di sekolah itu. aku ikhlas dan aku bersyukur saat itu.

   Tahun berganti tahun aku menikmati dan menjalani ini semua. Tiba-tiba aja duduk di bangku kelas 12 yang kembali disibukkan dengan masa-masa ujian. Mulai pusing-pusingnya mikirin kuliah juga sih sebenernya. Tentunya, aku juga punya mimpi yang besar lagi.

   Hari itu adalah pengumuman siswa eligible yang berhak mendaftar ke Perguruan Tinggi Negeri dengan jalur raport. Aku selalu berdo'a juga berusaha agar aku masuk ke dalam bagian itu.

   Awal pengumuman, aku dinyatakan tidak masuk ke bagian siswa eligible. Sedih? Jelas. Kecewa lagi? Tentu. Namun saat itu aku bukan lagi anak SMP dan SD yang selalu menyalahkan diri sendiri ketika aku gagal meraih sesuatu. Aku menangis hari itu. Bahkan, Ibuku menyaksikan tangisanku hari itu.

"Gapapa, masih banyak jalur lain. Jangan nangis. Sekuat apapun kita menginginkan sesuatu, kalau bukan rezekinya, ya gaakan Allah kasih. Cuma Allah yang tau mana yang terbaik untuk kita." Ujar Ibuku

Ditambah dukungan serta semangat dari Aisyah dan Hanifah yang sampai saat itu masih menjadi sahabatku. Aku bangkit dan tidak ingin merasa terpuruk lebih lama lagi. Aku hanya berdo'a semoga aku diberi kelapangan dada yang sangat luas, semoga diberikan yang terbaik.

   Besoknya, aku dinyatakan masuk siswa eligible yang berhak mendaftar PTN dengan jalur raport. Betapa bersyukurnya aku saat itu. Kuncinya satu, harus percaya denga napa yang Allah kasih. Semua akan berganti keajaiban jika selalu mengingat-Nya.

   Aku melalui rangkaian proses pendaftaran. Jujur, rasa takut akan kegagalan selalu menghantuiku. Namun, aku harus yakin kalau aku bisa.

"Kemarin-kemarin kamu boleh gagal. Tiap orang punya jatah gagal. Kemarin, jatah kamu sudah habis. Besok kamu akan dihadapkan dengan hasil yang amat sangat memuaskan. Jangan takut lagi ya." Ujar Hanifah kepadaku.

   22 Maret. Aku dinyatakan LOLOS di universitas yang aku impikan, aku lolos di jalur yang aku mimpikan, dan aku lolos di program studi yang aku inginkan. Sangat amat diluar nalar. Aku menangis terharu saat itu. Bersyukur sekali bisa mendapat kesempatan ini.

   "Selamat ya,Na." ucapan itu yang sering aku dengar setelah pengumuman itu.

  Sampai sekarang aku kuliah di universitas ini dengan senang dan dengan baik. Aku akan menjadi seorang guru juga setelah lulus di universitas ini.

"Kamu boleh gagal berulang-ulang kali,

Tapi jangan karena hal itu, kamu takut untuk melangkah.

Habiskan semua jatah kegagalan sampai hanya jatah keberhasilan saja yang tersisa.

Gantungkan semua harapanmu kepada yang punya akan segalanya.

Jangan lupa bahwa 'sabar' dan 'ikhlas' pun menjadi salah satu kunci dari segalanya.

Usaha dan do'a adalah hal yang harus selalu kamu lakukan

Sisanya, yakin dan percaya bahwa keajaiban itu akan ada."

************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun