Tulisan ini bermula dari kasus yang datang ke ruang konsultasi saya beberapa bulan lalu. Seorang anak laki-laki usia 11 tahun kelas 5 SD, sebut saja Budi, datang bersama ibunya. Seperti anak-anak sekolah lainnya saat ini Budi bersekolah dirumah karena pandemi Covid.Â
Namun, ditengah maraknya masalah karena Covid-19, di lingkungan rumah Budi juga dihebohkan soal perilaku Budi yang baru diketahui, yaitu mengambil pakaian dalam (celana dalam) perempuan, selain itu beberapa orang tua tetangga Budi mendapat cerita dari anak-anak mereka bahwa Budi menyuruh mereka untuk mengintip orangtua saat malam hari atau saat orangtua sedang berdua.
Hal ini tentu saja membuat orangtua malu, sedih serta marah. Ada pula rasa kuatir dari orangtua dan tetangga apabila perilaku Budi akan berkembang lebih parah hingga remaja dan dewasa. Sebab itu, tetangga dan perangkat dusun menyarankan agar Budi dibawa ke Psikolog Puskesmas untuk konsultasi.
Berdasarkan informasi dari orangtua, dalam hal ini ibu, didapatkan cerita bahwa Budi memang biasa melihat hp dari sebelum wabah pandemi dan bertambah sering ketika harus bersekolah dirumah saat pandemi.Â
Apa saja yang dilihat Budi melalui hp, ibu tidak tahu pasti. Ibu mengaku yang lebih banyak dirumah adalah ayahnya dan nenek Budi karena ibu bekerja di pabrik setiap hari kecuali hari libur.
 Menurut ibu, Budi sebetulnya anak yang baik, selama ini cukup penurut, tidak banyak membantah, terkadang 'ngeyel' tapi dalam batasan yang wajar pada usia anak-anak.Â
Budi juga mempunyai teman yang cukup banyak dirumah, biasa bermain sepeda, dan permainan yang lain. Sehingga ibu merasa kaget dan malu dengan apa yang dilakukan Budi. Ayah juga menjadi marah dan saat ini dirumah sering melampiaskan marah pada Budi dengan lisan bahkan kadang memukul. Budi sendiri saat ini murung, tidak mau bermain ke luar rumah karena malu dengan teman dan tetangga.
Dari cerita Budi didapatkan gambaran hubungannya dengan orangtua. Menurut Budi, ia takut pada ayah, karena ayah sering marah, kadang ayah memukul tanpa Budi mengetahui kesalahannya.Â
Nenek dirumah juga kadang memukulnya dan sering mengomeli. Budi merasa ia lebih nyaman dengan ibu, walaupun ia tidak bisa cerita semua hal, karena ibu sibuk bekerja dari pagi hingga sore.Â
Ayah banyak dirumah karena sebagai petani dan beternak kambing ayah tidak harus bekerja sepanjang hari. Budi mengaku sering melihat hp ayah saat harus bersekolah di rumah saat ini. Ia menceritakan di dalam hp ayah terdapat banyak gambar dan video yang 'kayak gitu'.Â
Budi juga menceritakan di hp orang tua adik kelasnya di SD juga ada gambar dan video seperti itu. Budi sudah lebih dulu diajak melihat oleh adik kelas tersebut sebelum kemudian melihat di hp ayah.Â
Budi mengaku saat mengambil celana dalam milik tetangganya pertama kali ia merasa takut, namun kemudian ada perasaan puas dan senang saat ia memakai pakaian dalam tersebut sambil membayangkan anak perempuan yang memiliki pakaian tersebut. Setelah puas ia akan melepas dan menyimpannya kembali.
Berkaca dari hal tersebut ada dua hal yang menjadi penting untuk diperhatikan. Pertama, soal gawai, khususnya telepon seluler. Kedua, soal kedekatan atau kelekatan anak terhadap orangtua. Dalam hal gawai sebenarnya sudah banyak yang membahas. Baik dari segi dampaknya secara fisik maupun secara psikologis.
Dampak Negatif Gawai
Salah satu dampak negatif dari penggunaan gawai adalah terpaparnya anak dengan pornografi. Seperti tergambar dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Az-Zahrah dkk (2017) tentang perilaku mengakses pornografi pada anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) usia terkecil anak pertama kali menonton tayangan pornografi ialah usia 6 Tahun atau saat TK.Â
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa media yang paling sering diakses mereka untuk melihat konten pornografi berupa video, gambar dan film. Gawai yang digunakan dapat milik sendiri atau kepunyaan orangtua serta biasanya anak-anak punya kelompok teman yang punya kebiasaan yang sama yaitu melihat konten pornografi. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh lingkungan terutama teman sebaya terhadap kebiasaan mengakses pornografi pada anak-anak.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lilik Supriyono (2020) dalam tesisnya juga menunjukkan bahwa frekuensi dan peran orang tua dalam mengontrol anak ketika menggunakan gawai memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penyimpangan perilaku seksual anak.Â
Implikasi yang terjadi jika anak tidak dibatasi frekuensi penggunaan gawai dan tidak diawasi orang tua, maka anak akan melakukan penyimpangan perilaku seksual.Â
Menurut Supriyono (2020) langkah yang paling baik agar anak terhindar dari pengaruh negatif gawai adalah dengan membatasi dan mengawasi penggunaannya, serta dipentingkan pembekalan iman dan taqwa sejak dini.
Kelekatan anak dan orangtua
Hal kedua yang perlu kita perhatikan juga adalah bagaimana membangun kelekatan antara orangtua dan anak untuk meminimalkan dampak gawai. Mengapa hal ini perlukan? Karena membuat anak hidup tanpa gawai dalam masa sekarang ini sangat sulit untuk dilakukan.Â
Gottfredson dan Hirschi (1990, dalam Hardani, Hastuti, dan Yuliati 2017) Â menyatakan bahwa kelekatan yang kuat diantara orang tua dan anak akan menuntun pada monitoring yang efektif dan perilaku disiplin selama dekade pertama kehidupan anak, yang menghasilkan kemampuan menolak hal-hal yang negatif.
Penelitian Hardani dkk (2017) menunjukkan bahwa kelekatan ibu dan kelekatan ayah memperlihatkan hubungan yang negatif signifikan dengan perilaku pornografi artinya semakin tinggi kelekatan ibu dan ayah, maka perilaku pornografi cenderung akan menurun.Â
Hasil lain yang menarik menunjukkan bahwa, pendapatan keluarga berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku pornografi. Hal ini dimungkinkan karena status ekonomi yang lebih tinggi membuat orangtua lebih mampu memenuhi akses anak terhadap gawai.
Sebetulnya apakah yang dimaksud dengan kelekatan? Ainsworth (dalam Helmi AF, 2004) menyebutkan kelekatan sebagai ikatan afeksional pada seseorang figur lekat dan ikatan ini berlangsung lama dan terus menerus.Â
Ikatan secara perasaan ini akan tetap ada walaupun figur tersebut ada (terjangkau) ataupun berjauhan. Helmi AF (2004) menyatakan bahwa konsep kelekatan yang awalnya menunjukkan konsep tentang hubungan bayi dengan pengasuh utama, saat ini banyak dikembangkan hubungannya dengan perilaku sosial dan representasi mental.
Dengan demikian sangat diharapkan orangtua mampu membangun kelekatan yang baik dengan anak, karena dengan kelekatan yang baik orangtua mampu mengawasi, membatasi dan mengarahkan anak saat menggunakan gawai. Ketika ada kelekatan yang baik maka orangtua dapat mengendalikan apa yang dilihat anak melalui gawai tanpa anak merasa diintimidasi. Selain itu orangtua perlu lebih waspada dan lebih memperhatikan kelompok pertemanan anak sedini mungkin.
Kembali pada kasus Budi, walaupun masih dalam pendampingan namun menunjukkan perkembangan yang baik. Hal ini dimungkinkan karena orangtua terbuka dan kooperatif mengatasi permasalahan Budi. Ibu menyempatkan mengobrol dengan Budi setiap pulang kerja. Ayah sudah menghapus gambar dan video dengan konten pornografi di telpon selulernya.Â
Orangtua tidak mengungkit-ungkit lagi perilaku salah yang Budi lakukan dan lebih melibatkan Budi dalam kegiatan sehari-hari, antara lain memelihara kambing.Â
Menurut ibu, Budi sudah mulai berani ke luar rumah, misalnya belanja ke warung. Budi menceritakan dia sudah tidak takut lagi pada ayah, walaupun juga merasa belum akrab.
Ada berapa banyak kasus seperti Budi yang tidak diketahui? Berawal dari perilaku kecil seperti mengambil celana dalam kemudian berkembang menjadi lebih besar karena tidak tertangani? Hal ini nampaknya perlu kita waspadai sebagai orangtua dan warga masyarakat. Agar tidak muncul anak-anak dengan perilaku seksual menyimpang karena orang dewasa yang abai.
Keluarga merupakan benteng utama anak-anak dari pengaruh negatif perkembangan teknologi. Orangtua perlu mewaspadai penggunaan gawai pada anak-anak, namun yang tidak kalah penting, memupuk perasaan disayangi, diperhatikan dan dihargai pada anak-anak agar segala bentuk pembatasan dan peraturan yang diterapkan dapat dimaknai dengan baik oleh anak. Selain itu, orangtua perlu menjadi role model atau memberikan contoh yang baik bagi anak dalam penggunaan gawai tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H