Mohon tunggu...
Trismiati
Trismiati Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

*Belajar Tak Kenal Usia* Anggota FKPPS (Forum Komunikasi Psikolog Puskesmas Sleman) dan IPKINDONESIA wilayah DIY

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gawai dan Risiko Adiksi Pornografi

30 Agustus 2020   15:34 Diperbarui: 30 Agustus 2020   15:31 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Penelitian Hardani dkk (2017) menunjukkan bahwa kelekatan ibu dan kelekatan ayah memperlihatkan hubungan yang negatif signifikan dengan perilaku pornografi artinya semakin tinggi kelekatan ibu dan ayah, maka perilaku pornografi cenderung akan menurun. 

Hasil lain yang menarik menunjukkan bahwa, pendapatan keluarga berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku pornografi. Hal ini dimungkinkan karena status ekonomi yang lebih tinggi membuat orangtua lebih mampu memenuhi akses anak terhadap gawai.

Sebetulnya apakah yang dimaksud dengan kelekatan? Ainsworth (dalam Helmi AF, 2004) menyebutkan kelekatan sebagai ikatan afeksional pada seseorang figur lekat dan ikatan ini berlangsung lama dan terus menerus. 

Ikatan secara perasaan ini akan tetap ada walaupun figur tersebut ada (terjangkau) ataupun berjauhan. Helmi AF (2004) menyatakan bahwa konsep kelekatan yang awalnya menunjukkan konsep tentang hubungan bayi dengan pengasuh utama, saat ini banyak dikembangkan hubungannya dengan perilaku sosial dan representasi mental.

Dengan demikian sangat diharapkan orangtua mampu membangun kelekatan yang baik dengan anak, karena dengan kelekatan yang baik orangtua mampu mengawasi, membatasi dan mengarahkan anak saat menggunakan gawai. Ketika ada kelekatan yang baik maka orangtua dapat mengendalikan apa yang dilihat anak melalui gawai tanpa anak merasa diintimidasi. Selain itu orangtua perlu lebih waspada dan lebih memperhatikan kelompok pertemanan anak sedini mungkin.

Kembali pada kasus Budi, walaupun masih dalam pendampingan namun menunjukkan perkembangan yang baik. Hal ini dimungkinkan karena orangtua terbuka dan kooperatif mengatasi permasalahan Budi. Ibu menyempatkan mengobrol dengan Budi setiap pulang kerja. Ayah sudah menghapus gambar dan video dengan konten pornografi di telpon selulernya. 

Orangtua tidak mengungkit-ungkit lagi perilaku salah yang Budi lakukan dan lebih melibatkan Budi dalam kegiatan sehari-hari, antara lain memelihara kambing. 

Menurut ibu, Budi sudah mulai berani ke luar rumah, misalnya belanja ke warung. Budi menceritakan dia sudah tidak takut lagi pada ayah, walaupun juga merasa belum akrab.

Ada berapa banyak kasus seperti Budi yang tidak diketahui? Berawal dari perilaku kecil seperti mengambil celana dalam kemudian berkembang menjadi lebih besar karena tidak tertangani? Hal ini nampaknya perlu kita waspadai sebagai orangtua dan warga masyarakat. Agar tidak muncul anak-anak dengan perilaku seksual menyimpang karena orang dewasa yang abai.

Keluarga merupakan benteng utama anak-anak dari pengaruh negatif perkembangan teknologi. Orangtua perlu mewaspadai penggunaan gawai pada anak-anak, namun yang tidak kalah penting, memupuk perasaan disayangi, diperhatikan dan dihargai pada anak-anak agar segala bentuk pembatasan dan peraturan yang diterapkan dapat dimaknai dengan baik oleh anak. Selain itu, orangtua perlu menjadi role model atau memberikan contoh yang baik bagi anak dalam penggunaan gawai tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun