Anak itu berdiri di bawah lampu jalan yang bersinar lebih terang dari masa depannya. Tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri saja sambil bersandar di tiang lampu penuh debu dan bekas-bekas lengket hasil dari pertemuan debu-debu jahanam bekas ibukota. Ia tidak memperdulikannya, toh lengket tiang itu tidak ada beda dengan lengket badannya yang entah sudah berapa hari tidak kena air bersih dan pastinya tidak akan menambah kekumalan bajunya yang mungkin dari warnanya saja orang sudah akan mencium baunya yang sangit dan bacin.
      Ia tidak melakukan apa-apa selain berdiri, sesekali mungkin menengok ke kanan dan kiri tanpa mencari apa-apa hanya karena sedikit pegal saja melihat bayangan terus. Ia senang berada di sini setiap pukul 12 malam sampai kira-kira pukul dua nanti atau sampai kakinya sudah tidak sanggup lagi. Beberapa orang lewat di depannya tidak memperdulikannya, hanya kadang ada ibu-ibu yang berjalan bersama gerobak berisi keluarganya yang sesekali melihatnya meski sambil lalu saja.Â
Jalanan ini bukan jalanan yang sering dilewati orang di atas jam 10 malam. Belakangnya adalah bekas kuburan yang sudah tidak digunakan tetapi masih ada beberapa nisan yang hancur, tempat langganan para pekerja seks bercumbu rayu demi uang sepuluh ribu. Di depannya adalah tembok panjang yang menutupi pabrik korek api dan di kanan kirinya adalah jalanan jauh tak terlihat ujung. 30 menit dari jalan tak berujung itu adalah tempat tinggalnya, sebuah rumah, ah tidak pantas sepertinya itu disebut rumah, mungkin lebih pantas disebut gubuk, beratapkan seng dan berdinding seadanya dari kayu-kayu bekas bongkaran rumah.Â
Di situ berisi begitu banyak manusia, ibu dan bapaknya, kakak dan adiknya, nenek dan kakeknya, bahkan kadang pamannya juga ikutan tidur di situ. Sudah tidak ada batas yang bisa menjaga privasi antara satu sama lain. Suara tengkar ibu dan bapaknya selalu meenuhi ruangan, begitupula suara lenguhan panjang ibunya saat pertengkaran itu diakhiri dengan bercinta di atas tanah yang dilapisi plester dan spanduk kampanye.Â
Di situ juga ia melihat dan mendengar pamannya, yang adalah adik bungsu bapaknya, meniduri kakak tertuanya setiap malam Rabu, setiap bapak dan ibunya tidak pulang karena menyetor hasil kumpulan sampah plastik ke mandor. Ia muak dengan kesumpekan itu. Tidak ada satu suara bahagia pun yang berasal darinya, semua berasal dari orang lain. Ia butuh kesunyian.
      Entah sejak berapa lama ia memulai untuk berjalan ke arah bekas kuburan itu tapi yang pasti ia selalu menanti datangnya malam dengan antusias. Tidak ada orang rumahnya yang peduli kemana ia pergi di jam-jam malam dan baru kembali dini hari atau subuh nanti.Â
Tidak ada juga yang bertanya kenapa saat kembali ia sudah dalam keadaan kenyang dan langsung tertidur pulas sampai sore nanti sebelum waktunya untuk berenang di lautan sampah mencari entah apa yang bisa ia jual. Malam makin larut dan suara-suara lirih mendatangi telinga anak yang masih anteng berdiri di bawah lampu jalanan itu.Â
Ia tersenyum. Suara ini berbeda dengan suara yang ia dengar dari ibunya atau dari kakaknya, suara-suara lirih ini begitu manis, renyah, kadang merendah, kadang meninggi, kadang cepat, kadang lambat, tapi tidak mengganggunya sama sekali, ia tetap menemukan kesunyiannya di antara suara-suara yang jauh tapi dekat itu. Suara-suara itu begitu lezat dan ia yang sudah berusia 10 tahun saat itu terkadang ingin mendekat dan mencicipi, tapi ia tampik karena merasa akan kehilangan kesunyiannya.Â
Ah, bisakah ia mencicipi suara itu tapi masih mempertahankan sunyi yang ia cintai ini? Kadang ia tidak kuat lagi dan mencoba merogoh kantongnya, hanya dua ribu rupiah, sisa dari penukaran beberapa botol plastik tadi sore yang sudah dipotong dengan jajan es mambo dan tahu. Ia menimbang uang itu dan memasukkan lagi ke kantongnya, masih kurang delapan ribu.
      " Hey, Dek. Hey! " suara seseorang membuat anak itu memalingkan muka ke arah kanan jalan. Muncul dari sana sesosok perempuan dengan alis tebal. Perempuan itu memanggil anak itu dengan tangannya yang dipenuhi gelang-gelang yang bergemirincing. " Sini dulu! "
      Anak itu awalnya ragu, tapi perempuan itu terus memanggil. Dengan terpaksa ia meninggalkan lampu tempatnya bersandar dan menghampiri perempuan itu.
      " Kami lapar, tolong belikan dulu nasi goreng di dekat sana, " kata si perempuan mengeluarkan uang lima puluh ribu dari balik kutangnya. Anak itu melirik ke samping perempuan itu, ada tubuh yang sedang terbaring tapi hanya kelihatan kakinya saja dan baru rokok dan anyir yang menyengat. " Lekas ya! Satu bungkus saja, pedas, nanti kembaliannya kamu ambil. Kalau mau pesan nasi goreng buatmu juga ngga apa-apa. "
      Perempuan itu menyadari bahwa anak itu melirik ke arah sampingnya, melihat kaki itu. " Heh, lihat apa anak kecil, ngga usah tahu urusan dewasa! " senyum perempuan itu menggoda. " Sudah sana cepat belikan nasi goreng! "
      Anak itu menerima uang yang belum pernah ia lihat sebelumnya, berwarna biru, sedikit lebih besar daripada ukuran uang yang biasa ia pegang, begitu halus dan wanginya enak. Ia lalu memutar badannya menuju ke tukang nasi goreng yang ada di turunan jalan.Â
Nasi goreng itu tidak terlalu ramai dan ia memesan dua, satu dibungkus dan satu ia akan makan sendiri. Setelah puas melahap nasi gorengnya, ia menerima kembalian yang cukup banyak dan ada uang sepuluh ribu di situ. Ia memegang uang itu erat-erat, ah apakah ini pertanda aku bisa melakukan itu sekarang? Aku punya lebih dari cukup uang, aku ingin mencoba. Dadanya berdegup kencang, ada arus darah yang ia tidak pernah kenal sebelumnya, keningnya berkeringat dan senyum merekah di bibirnya.Â
Ya, ia akan mencobanya! Dengan setengah berlari, ia kembali ke tempatnya berdiri tadi dan berjalan beberapa langkah menuju tempat perempuan tadi. Ia akan mencoba membeli apa yang perempuan itu biasa jual, tapi apakah perempuan itu akan menjual kepada anak-anak sepertinya? Â Â Â
      " Mbak? " anak itu memanggil si perempuan. " Mbak ini nasi gorengnya. "
      Sunyi. Tidak ada suara sama sekali. Apakah perempuan itu sudah pergi karena ia kelamaan?
      " Mbak? " ia mencoba memasuki area bekas kuburan itu dengan melangkahi got kering yang menjadi pembatasnya. " Mbak? " ia memanggil lagi dan kakinya terantuk. Sepatu. Ia terantuk sepatu. Ia mencoba mendekat dan melihat dengan lebih jelas dan ia terkejut luar biasa.Â
Ada sesosok tubuh dengan perut penuh darah dan pisau menancap disertai mulut yang menganga yang juga mengeluarkan darah serta mata yang melotot. Anak itu ingin berteriak tetapi suaranya tidak keluar. Napasnya tersengal-sengal, ia melangkah mundur tanpa menyadari got kering yang menjadi pembatas sudah ada satu senti tepat di belakang tumitnya.Â
Ia terjatuh dan nyaris terperosok ke dalam got itu kalau tidak ditahan dengan lengannya. Tiba-tiba ia mendengar suara orang berjalan ke arahnya, lebih dari satu orang.
      " Hey! Anak gendeng, kenapa kamu liat liat ke situ !? " tanya seorang perempuan tapi dengan suara mirip laki-laki. " Marta! Ini anak yang tadi kan??"
      " Iya, tadi yang aku suruh beli nasi goreng, " suara perempuan yang tadi menyuruhnya muncul.
      " Dia melihat mayat si bangsat itu, " kata perempuan bersuara laki-laki tadi.
      " Hah? Waduhhh, ngapain kau lihat-lihat ke dalam, nak? Bodoh sekali. Sial sekali nasibmu hari ini, " kata si perempuan tadi dengan wajah sangat datar sambil menyalakan rokoknya.
      " Ya tidak apalah meski anak-anak ada yang bisa dijual juga kok hahahaha! Anak begini lagian mati satu tidak akan ada yang mencari, orangtuanya pasti punya selusin anak begini. "
      Anak itu sangat ketakutan sampai terkencing di celana dan menangis terus terusan. Ia tidak bisa mengeluarkan suara apa-apa, tenggorokannya tercekik. Ia bergantian melihat kedua orang itu, yang satu menatapnya dengan mata melotot dan perempuan yang satunya, yang hampir ia gunakan sepuluh ribu tadi untuk membelinya itu, menatapnya dengan sangat biasa saja. Serasa mimpi, ia merasa tenggorokannya sakit luar biasa, sakit yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya dan ada rasa dingin yang menancap.Â
Tidak butuh waktu lama sampai anak itu kehilangan kesadarannya dan akhirnya terjatuh, tak bernyawa lagi. Nasi goreng dengan bungkusan hitam masih ia pegang dengan erat, begitupula kembalian dari nasi goreng itu, uang sepuluh ribu yang sekarang sudah berwarna kecokelatan karena berlumuran darah.
      Jalanan kembali sunyi. Kedua perempuan itu menghilang setelah memasukkan dua jasad ke dalam kantong besar dan membawanya jauh ke dalam bekas kuburan. Lampu jalanan tetap menyala, sampai pagi nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H