Mohon tunggu...
Mia Olivia
Mia Olivia Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Jadi-jadian

Suka masak dan menulis, apalagi jika menulisnya di pinggir pantai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Bawah Lampu Jalan

28 Juni 2024   23:34 Diperbarui: 28 Juni 2024   23:36 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak itu berdiri di bawah lampu jalan yang bersinar lebih terang dari masa depannya. Tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri saja sambil bersandar di tiang lampu penuh debu dan bekas-bekas lengket hasil dari pertemuan debu-debu jahanam bekas ibukota. Ia tidak memperdulikannya, toh lengket tiang itu tidak ada beda dengan lengket badannya yang entah sudah berapa hari tidak kena air bersih dan pastinya tidak akan menambah kekumalan bajunya yang mungkin dari warnanya saja orang sudah akan mencium baunya yang sangit dan bacin.

            Ia tidak melakukan apa-apa selain berdiri, sesekali mungkin menengok ke kanan dan kiri tanpa mencari apa-apa hanya karena sedikit pegal saja melihat bayangan terus. Ia senang berada di sini setiap pukul 12 malam sampai kira-kira pukul dua nanti atau sampai kakinya sudah tidak sanggup lagi. Beberapa orang lewat di depannya tidak memperdulikannya, hanya kadang ada ibu-ibu yang berjalan bersama gerobak berisi keluarganya yang sesekali melihatnya meski sambil lalu saja. 

Jalanan ini bukan jalanan yang sering dilewati orang di atas jam 10 malam. Belakangnya adalah bekas kuburan yang sudah tidak digunakan tetapi masih ada beberapa nisan yang hancur, tempat langganan para pekerja seks bercumbu rayu demi uang sepuluh ribu. Di depannya adalah tembok panjang yang menutupi pabrik korek api dan di kanan kirinya adalah jalanan jauh tak terlihat ujung. 30 menit dari jalan tak berujung itu adalah tempat tinggalnya, sebuah rumah, ah tidak pantas sepertinya itu disebut rumah, mungkin lebih pantas disebut gubuk, beratapkan seng dan berdinding seadanya dari kayu-kayu bekas bongkaran rumah. 

Di situ berisi begitu banyak manusia, ibu dan bapaknya, kakak dan adiknya, nenek dan kakeknya, bahkan kadang pamannya juga ikutan tidur di situ. Sudah tidak ada batas yang bisa menjaga privasi antara satu sama lain. Suara tengkar ibu dan bapaknya selalu meenuhi ruangan, begitupula suara lenguhan panjang ibunya saat pertengkaran itu diakhiri dengan bercinta di atas tanah yang dilapisi plester dan spanduk kampanye. 

Di situ juga ia melihat dan mendengar pamannya, yang adalah adik bungsu bapaknya, meniduri kakak tertuanya setiap malam Rabu, setiap bapak dan ibunya tidak pulang karena menyetor hasil kumpulan sampah plastik ke mandor. Ia muak dengan kesumpekan itu. Tidak ada satu suara bahagia pun yang berasal darinya, semua berasal dari orang lain. Ia butuh kesunyian.

            Entah sejak berapa lama ia memulai untuk berjalan ke arah bekas kuburan itu tapi yang pasti ia selalu menanti datangnya malam dengan antusias. Tidak ada orang rumahnya yang peduli kemana ia pergi di jam-jam malam dan baru kembali dini hari atau subuh nanti. 

Tidak ada juga yang bertanya kenapa saat kembali ia sudah dalam keadaan kenyang dan langsung tertidur pulas sampai sore nanti sebelum waktunya untuk berenang di lautan sampah mencari entah apa yang bisa ia jual. Malam makin larut dan suara-suara lirih mendatangi telinga anak yang masih anteng berdiri di bawah lampu jalanan itu. 

Ia tersenyum. Suara ini berbeda dengan suara yang ia dengar dari ibunya atau dari kakaknya, suara-suara lirih ini begitu manis, renyah, kadang merendah, kadang meninggi, kadang cepat, kadang lambat, tapi tidak mengganggunya sama sekali, ia tetap menemukan kesunyiannya di antara suara-suara yang jauh tapi dekat itu. Suara-suara itu begitu lezat dan ia yang sudah berusia 10 tahun saat itu terkadang ingin mendekat dan mencicipi, tapi ia tampik karena merasa akan kehilangan kesunyiannya. 

Ah, bisakah ia mencicipi suara itu tapi masih mempertahankan sunyi yang ia cintai ini? Kadang ia tidak kuat lagi dan mencoba merogoh kantongnya, hanya dua ribu rupiah, sisa dari penukaran beberapa botol plastik tadi sore yang sudah dipotong dengan jajan es mambo dan tahu. Ia menimbang uang itu dan memasukkan lagi ke kantongnya, masih kurang delapan ribu.

            " Hey, Dek. Hey! " suara seseorang membuat anak itu memalingkan muka ke arah kanan jalan. Muncul dari sana sesosok perempuan dengan alis tebal. Perempuan itu memanggil anak itu dengan tangannya yang dipenuhi gelang-gelang yang bergemirincing. " Sini dulu! "

            Anak itu awalnya ragu, tapi perempuan itu terus memanggil. Dengan terpaksa ia meninggalkan lampu tempatnya bersandar dan menghampiri perempuan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun