Apakah cukup bukti kau tuduh istrimu itu selingkuh. Ingat Bang, Abang cemburu buta hingga semua yang melekat padaku itu selalu Abang anggap salah. Mana mungkin aku selingkuh Bang. Jika aku mau selingkuh tak perlu diwarung itu Bang. Aku bisa pergi keluar kota saat Abang tak ada. Tapi aku punya iman Bang."
"Diam kamu!. Sudah salah, masih ngelak jua kau ini. Semalam kutanyakan hubunganmu  pada Julak Ijay. Apa benar biniku ada hubungan dekat dengan ustadz gadungan itu? Julak bilang padaku. Kalian sering duduk berdua di warung itu. Berarti benar perasaanku selama ini, bahwa kau selingkuh!". Tangannya menjambak rambut ibu dengan kasar.
"Jangan mengelak kamu!."
"Sakit Bang. Istigfar Bang, Abang pergi ke dukun menanyakan perihal istri Abang? Dosa Bang jika percaya sama dukun. Abang masih meragukan istri Abang dengan penglihatan Abang yang cuman sebatas. Kenapa tak Abang datangi saja istri Abang kewarung. Abang tegur langsung jika aku salah." Ibu menangis sesegukan. Kusaksikan dari balik tirai kamar. Aku meringkuk, mataku membasahi tirai maroon itu.
"Mana ada orang selingkuh mengaku. Awas kamu keluar rumah, kuhajar nanti!. Layung masuk kamarmu!" tangan Ayah menyeret ibuku kedalam kamar. Terdengar suara pintu itu ditendang menggelegar. Ibu menangis. Dan aku hanya terdiam di sudut kamarku. Aku takut Ayah memukul ibuku lagi.Â
 Kakakku Hanung yang seharusnya menjadi tameng ibu malah sebaliknya. Ia juga seperti halnya Ayah yang tak bisa menghargai perempuan termasuk kepada ibu. pernah suatu kali Ayah bertengkar hebat. Ibu dengan sekuat tenaga menghindari amukan Ayah hingga kepalanya terbentur, tangannya diseret masuk kedalam kamar.
Tak hanya itu kedua paha ibuku diinjak-injak Ayah supaya tak bisa lari kemana-mana. Aku yang bisu hanya menangis merangkul badan ibuku yang tak berdaya. Â Mas Hanung dari kejauhan hanya menyaksikan kosong tanpa ada pembelaan terhadap ibuku yang sekarat.
"Ibu juga yang salah, kalau Ayah marah jangan dilawan. Jadinya beginikan. Badan ibu sakit." Mas Hanung sambil menggeloyoer pergi tanpa beban.
Ya allah ya tuhan yang maha pengasih, lindungilah ibuku. Entah sampai kapan perempuan tangguh itu harus merelakan tubuh dan hatinya remuk karena Ayahku. Ya allah dosakah aku membenci Ayah. Orang yang menaburkan benihnya di rahim ibuku yang malang itu. Pantaskah kusebut Ayah sedangkan kelakuannya tak bisa dikatakan sebagai manusia normal. Aku yang sunyi, aku yang dilahirkan tak sempurna membuat hatinya malu. Dan karena itulah ibuku selalu diperlakukan seperti manusia bodoh.
Pernah suatu hari ketika Ayah pergi melaut.  Aku berusaha meminta bantuan keluar rumah  mengadukan keadaan ibu kepada bibiku. Ibu kala itu disekap disebuah kamar rumahku. Aku berharap bisa memberikan angin segar untuk kebebasan ibu.  Tapi bibiku seakan menutup mata dengan kondisi kami.
"Sudahlah Layung, percuma kau datang kemari. Bibi tak bisa menolong ibumu. Kamu tahukan Ayahmu sejak dulu seperti itu. Kalau bibi menolong ibumu bisa-bisa bibi yang akan diancam, dibunuh Ayahmu barangkali. Biarkan saja ibumu. Ibumu itu wanita bodoh. Dia buta huruf. Dulu dia tak pernah sekolah. Kalau dia pintar, seharusnya dia lari tinggalkan bapakmu. Percuma Layung bibimu menolong kalau ibumu tetap mempertahankan lelaki itu. Seperti tak ada laki-laki lain saja!." Jawab bibi seakan hatinya mati.