"tapi Yah, bang yon itu lain dari laki-laki kbanyakan, diapekerja keras dan sangat menghargai wanita."
"kaya gitu caramu membalas budi u]tuk orang tuamu. Orang tua yang mati-matian ingin kamu menjadi orang terhormat. Dan begini caramu menjawab omongan orang tua demi laki-laki itu. Dia siapa ha? Apa sekarang dia lebih bergarga daripada bapakmu ini!"
Sepanjang jalan ngobrol ngalor ngidul tak terasa sampai di gerbang pintu masuk Bandara Soekarno Hatta. Menjemput orang tuaku dari Sumatera yang akan meresmikan hubunganku dengan Bang Yon di Jakarta .
 "Sekarang aku tau jawabnya Bang, mengapa mimpiku menarikku kuat untuk segera ke kota ini." Satu kata mengakhiri perjalanan itu.
"Oya... kok baru cerita?" Lelaki itu menimpaliku sambil mematikan mesin kendali supir.
"Karena ada kopi yang menungguku. Kopi yang rindu kutemui. Dan memudarkan sebagian kekhawatiranku tentang kota ini. Mengubah keterasingan yang kita jumpai sebagai keindahan bukan sebuah belukar masalah."
"Kopi, maksudmu?"
"Iya kopi. Ini kopinya." Tanganku mencubit mesra pipi lelaki itu. Â Senyumnya mengembang sambil bergumam kesal.
"Bisa nakal juga ya kamu. Awas ya kugigit-gigit nanti." tangannya balas mencubit kedua pipiku hingga terasa sakit.
Meski  aku tak memiliki Jakarta. Aku akan menjaganya seperti biji kopi yang kau seduh untuk bibir-bibir yang rindu nikmatnya dibalik kepahitan bijinya. Berharap Jakarta segar dan tentram bagi penduduknya. Jakarta tak sehitam biji kopi karena kutemukan manisnya di cangkir pertama saat hujan sore itu. Tangan kami berpegangan erat.  Ada  senyum yang terlintas memandang gate kedatangan Soetta.
***