“Tapi..Bang?
“Iya.. tapi kamu harus pulang menemui bapak dan Ibumu. Kita berpamitan meminta do’a restunya gimana?
“Ok” aku pun menganggukan kepala meski di pikiranku masih ragu dengan jawabanku mengiyakan ajakan Bang Jaya.
Seusai sholat zuhur Bang Jaya mengajaku kembali ke rumahku. Saat itu perasaan ini berkecamuk pulang atau pergi saja tanpa memberitahu orang tuaku. Seratus meter lagi kakiku samapai di gubuk mungil itu. Dari kejauhan sesekali kulihat penghuni permukiman kumuh itu datang menuju gubukku. Ntah apa yang mereka lakukan dirumahku. Langkahku kian dekat kulihat peti keranda terlihat tak jauh dari rumahku. Siapa gerangan yang meninggal. Rasanya beberapa jam yang lalu tempat ini sunyi sepi tak ada peristiwa apapun.
Perlahan kudekati rumahku, Ibu kulihat Ibuku mengaji di depan manusia yang terlentang terbungkus kain tapih. Bapak ternyata tubuh yang terbalut kain itu adalah bapakku. Yang tadi ke puskesmas dibawa Ibu berobat ternyata menghembuskan nafasnya yang terakhir.
***
Sepeninggalan bapakku, aku hanya tinggal bersama Ibuku. Keinginan ikut dengan Bang Jaya kuurungkan beberapa hari. Aku tak tega meninggalkan Ibuku seorang diri. Pagi itu Bang Jaya singgah ke rumahku. Sejak kepergianku dihari Bapakku meninggal. Kuputuskan untuk tidak masuk sekolah lagi.
“Assalamu alaikum Risky”
“Waalaikum salam Bang Jaya”
“Sendirian ya, Ibu dimana?
“Ibu pergi memulung Bang”