“Rizky kamu malu punya Ibu pemulung Nak” Tanya Ibuku seusai menyelesaikan bacaannya yang terakhir. Kulihat sekilas Ibu duduk disampingku masih mengenakan mukena yang sudah agak kuning melekat diwajahnya.
Aku hanya diam, sebagai tanda protes dilahirkan dari keluarga miskin.
“Anakku, apakah kamu tahu dari tumpukan sampah-sampah itu Ibu dan bapakmu membesarkanmu Nak”. “ dari sampah-sampah itulah Ibu merajut mimpi-mimpimu agar tetap hidup dan kamu menjadi anak yang berguna”
“Tapi Bu aku malu dihina teman-teman terus”
“Jangan pernah kau hinakan sampah-sampah itu Nak, kelak dari sanalah kau akan bermartabat”
Kata-kata Ibu tak bisa menghilangkan rasa maluku di sekolah. Kadang aku berpikir lari dari rumah dan mencari orang tua asuh. Pernah suatu hari kulihat teman-temanku melewati perkampungan kumuh tempat tinggalku. Mereka sangat mengenali gerobak Ibuku. Mereka tak segan-segan menendang gerobak itu hingga terjungkal. Saat itu Ibuku sedang ke puskesmas membawa Bapak berobat. Aku hanya membisu menyaksikan ejekan-ejekan itu.
Hari ini aku akan pergi. Aku akan berhenti sekolah. Aku akan ke stasiun pasar senen. Aku akan mengamen di atas kereta. Aku ingin hidup bebas dari ejekan dan cacian teman-teman. Kulangkahkan kakiku dengan cepat membawa dua lembar pakaian kutenteng diplastik hitam.
Sepanjang jalan tak banyak yang kupikirkan. Waktu itu bapak sedang tidak enak badan Ibu pun bergegas membawanya ke puskesmas. Aku tak menghiraukan semunya. Aku hanya ingin lari dan pergi menjauh dari mereka. Ntah mengapa tiba-tiba langkahku terhenti. Ada seseorang menepuk pundakku. Seorang pemuda yang tidak pernah kukenal sebelumnya.
“Maaf kalo boleh tau musola di daerah sini dimana ya Dek?”
“Tidak jauh dari sini Bang, ayo saya antar” jawabku kemudian.
Laki-laki itu mengikutiku dengan berjalan kaki.