Kedua, iklan kampanye rokok elektrik marak di media-media sosial dengan narasi yang menyesatkan.
Konon dengan rokok elektrik, seorang perokok dapat terbantu untuk memerdekakan diri dari penjajahan kecanduan merokok. Omong kosonglah itu. Bukankah rokok elektrik itu dibuat untuk memenuhi asupan nikotin pada otak?Â
Selama masih mengandung nikotin, tidak mungkinlah kita bisa meraih kemerdekaan dari penjajahan nikotin ini. Beralih dari rokok konvensional ke rokok elektrik hanya seperti merdeka dari penjajahan Belanda tetapi masuk dalam kekuasaan Jepang di masa perang kemerdekaan dulu.
Celakanya, kontrol terhadap media sosial sangat sulit dilakukan sehingga kampanye menyesatkan ini berlangsung terus.
Kecanduan pada rokok sudah jelas disebabkan oleh kandungan nikotinnya. Jadi kalau ingin memerdekakan diri dari kecanduan merokok angkat senjatalah melawan nikotin! Itu satu-satunya cara.
Ketiga, tuntutan gaya hidup.
Faktor ketiga ini diembuskan lewat iklan dan promosi yang marak di media sosial juga. Getah dampak negatif ini mengenai usia anak-anak dan remaja. Sebabnya, merekalah penghuni paling aktif media sosial.Â
Maka jangan heran kalau Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC) juga mencatat adanya peningkatan prevalensi perokok usia 13-15 tahun sebesar 19,2%. Di tengah masa pencarian jati diri para remaja ini, bertemulah iklan rokok elektrik yang dinarasikan sebagai sebuah gaya hidup. Klop sudah. Â
Imbas kampanye rokok elektrik ini cukup besar. Lahir kelompok pengguna ganda. Perokok konvensional sekaligus perokok elektrik. Cukup elegan, bukan? Â
Begitulah. Perkara kecanduan ini tidak diselesaikan dengan cara radikal dengan memutus langsung sumbernya, yaitu memutus peredaran sumber nikotin. Yang ada justru "mau melarang tapi takut miskin". Maka dibuatlah regulasi yang mengatur tentang penggunaan rokok-rokok ini. Harga didongkrak agar masyarakat tidak mampu membelinya. Tapi penjajahan oleh nikotin tidak semudah itulah ditaklukkan. Penjajahan oleh nikotin inilah yang memicu Bantuan Langsung Tunai yang diterima masyarakat lebih sering ditransformasi menjadi rokok ketimbang membeli beras buat makan keluarga.
Lalu bagaimana sebaiknya?