Mohon tunggu...
Momang Yusuf
Momang Yusuf Mohon Tunggu... Guru - Pengajar sains yang terus belajar menulis

Seorang abdi negara di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain menulis tema-tema sosial dan fiksi, saya juga menulis tentang sains khususnya fisika yang saya tuangkan dalam blog pribadi saya: https://edufisika.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Dari Rokok Konvensional ke Rokok Elektrik, Penjajahan yang Tak Kunjung Usai

4 Juni 2023   14:31 Diperbarui: 4 Juni 2023   14:54 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, iklan kampanye rokok elektrik marak di media-media sosial dengan narasi yang menyesatkan.

Konon dengan rokok elektrik, seorang perokok dapat terbantu untuk memerdekakan diri dari penjajahan kecanduan merokok. Omong kosonglah itu. Bukankah rokok elektrik itu dibuat untuk memenuhi asupan nikotin pada otak? 

Selama masih mengandung nikotin, tidak mungkinlah kita bisa meraih kemerdekaan dari penjajahan nikotin ini. Beralih dari rokok konvensional ke rokok elektrik hanya seperti merdeka dari penjajahan Belanda tetapi masuk dalam kekuasaan Jepang di masa perang kemerdekaan dulu.

Celakanya, kontrol terhadap media sosial sangat sulit dilakukan sehingga kampanye menyesatkan ini berlangsung terus.

Kecanduan pada rokok sudah jelas disebabkan oleh kandungan nikotinnya. Jadi kalau ingin memerdekakan diri dari kecanduan merokok angkat senjatalah melawan nikotin! Itu satu-satunya cara.

Ketiga, tuntutan gaya hidup.

Faktor ketiga ini diembuskan lewat iklan dan promosi yang marak di media sosial juga. Getah dampak negatif ini mengenai usia anak-anak dan remaja. Sebabnya, merekalah penghuni paling aktif media sosial. 

Maka jangan heran kalau Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC) juga mencatat adanya peningkatan prevalensi perokok usia 13-15 tahun sebesar 19,2%. Di tengah masa pencarian jati diri para remaja ini, bertemulah iklan rokok elektrik yang dinarasikan sebagai sebuah gaya hidup. Klop sudah.  

Imbas kampanye rokok elektrik ini cukup besar. Lahir kelompok pengguna ganda. Perokok konvensional sekaligus perokok elektrik. Cukup elegan, bukan?  

Begitulah. Perkara kecanduan ini tidak diselesaikan dengan cara radikal dengan memutus langsung sumbernya, yaitu memutus peredaran sumber nikotin. Yang ada justru "mau melarang tapi takut miskin". Maka dibuatlah regulasi yang mengatur tentang penggunaan rokok-rokok ini. Harga didongkrak agar masyarakat tidak mampu membelinya. Tapi penjajahan oleh nikotin tidak semudah itulah ditaklukkan. Penjajahan oleh nikotin inilah yang memicu Bantuan Langsung Tunai yang diterima masyarakat lebih sering ditransformasi menjadi rokok ketimbang membeli beras buat makan keluarga.

Lalu bagaimana sebaiknya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun