Mohon tunggu...
Momang Yusuf
Momang Yusuf Mohon Tunggu... Guru - Pengajar sains yang terus belajar menulis

Seorang abdi negara di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain menulis tema-tema sosial dan fiksi, saya juga menulis tentang sains khususnya fisika yang saya tuangkan dalam blog pribadi saya: https://edufisika.com

Selanjutnya

Tutup

Bandung

Jalan Masuk Kampus

6 Mei 2023   14:54 Diperbarui: 7 Mei 2023   09:39 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Kampus Institut Teknologi Bandung jelas merupakan kampus penggodokan yang bisa menjadi jalan pembuka bagi kita untuk meraih cita-cita dan pekerjaan layak nan bergengsi. Itu tidak diragukan lagi. Cobalah dengarkan, atau baca, percakapan-percakapan mereka yang pernah menjalani wawancara untuk sebuah lowongan pekerjaan. Jika biodata pada berkas lamaran Anda memuat riwayat pendidikan yang mengandung "alumni ITB", besar kemungkinan berkas Anda akan melejit naik pada tumpukan yang lebih atas, menindas CV-CV lainnya yang sejarah pendidikannya berasal dari kampus lain. Ini terutama pada bidang keteknikan dan sains, dan sekarang mulai merambah bidang bisnis sejak ITB punya Sekolah Bisnis dan Manajemen.

Jangankan pada perkara rekrutmen tenaga kerja profesional yang memang membutuhkan profil latar belakang pendidikan yang tidak boleh main-main, pada hal remeh di pasar sekali pun nama ITB bikin kita naik tingkat.

Pernah suatu ketika saya ke pasar teknik untuk mencari-cari sebuah peranti pengukur tekanan. Karena ada banyak variasi dan spesifikasi yang dinyatakan dalam kode-kode pada alat tersebut, saya meminta penjelasan arti kode-kode tersebut berkaitan dengan spesifikasinya.

Maka dijelaskanlah sedetail-detailnya termasuk prinsip kerja dasar alat tersebut. Saya manggut-manggut. Sang penjual makin bersemangat menjelaskan. Mungkin ia menganut prinsip pemasaran tersendiri yang kira-kira kalau dirumuskan seperti ini: berilah nilai pada pelangganmu dengan menambahkan pengetahuan kepadanya meskipun pada akhirnya ia tidak membeli apa-apa.

Setelah puas menjelaskan, dan senang melihat saya makin mengerti, ia bertanya, "Anda mahasiswa?"

"Betul, Pak."

"Dari mana?" Yang ia maksud adalah saya mahasiswa kampus apa.

"ITB, Pak."

"Oh,.." Tiba-tiba ia tampak kikuk.

Setelah itu, setiap ia menjelaskan sesuatu selalu disertakannya konfirmasi kepada saya apakah penjelasannya sudah benar.

Saya menyimpulkan dari situasi ini bahwa ia telah menempatkan saya pada tingkat yang lebih tinggi dari sebelumnya. Setelah saya mengatakan padanya bahwa saya mahasiswa ITB.

Barangkali karena kesadaran penuh dan kehendak menegaskan peran sebagai "pembuka jalan" inilah, ITB benar-benar bertindak membenahi jalan masuk ke kampusnya yang berlokasi di Jl. Ganesa Bandung. Jalan akses masuk kampus melalui gerbang utama ini sekarang begitu kinclong, bersih dan rapi. Dalam waktu dekat mungkin akan segera meraih predikat instagrammable.

Dulu, jalan masuk ini memang sudah baik tetapi sekarang telah menjadi semakin baik. Dan itu tadi, ada potensi instagrammable. Jika dulu jalan masuk ini menggambarkan mahasiswa-mahasiswi ITB yang tampan-tampan dan cantik-cantik, sekarang jalan masuk ini seperti aktor dan aktris Korea yang licin seperti lilin dan glowing.

Apakah ada hubungan antara jalan akses kampus yang bagus dan kinclong dengan prestasi kampus tersebut? Ini jelas sulit dijawab tanpa melalui pengumpulan data-data pendukung melalui metode penelitian tersendiri. Apalagi untuk kelas ITB yang memang prestasinya sudah menjulang tinggi. Lagi pula itu butuh waktu. Kan jalan ini dibuat lebih baik belum genap setahun? Catatlah sekarang, ITB berada pada peringkat kedua di bawah UI menurut pemeringkatan Time Higher Education (THE) tentang rangking universitas-universitas di Asia.

Tetapi yang jelas, dengan jalan yang bersih dan mulus seperti ini, siapa saja akan merasa nyaman berjalan di atasnya. Situasi ini bisa menyeruakkan semangat dan tekad kuat dalam sanubari untuk bekerja dan mengabdi sebaik mungkin demi menebus kenyamanan yang diberikan oleh jalan masuk yang plong ini. Berjalan di atasnya, seperti meluncur di atas lapisan es.

Cobalah tanya pada mereka yang bekerja di ITB setelah melihat kondisi jalan masuk kampus mereka sekarang. Coba pula tanya mahasiswa yang sedang berkuliah di tempat itu. Tetapi tentu akan lain persoalan jika mahasiswa yang Anda tanya adalah mahasiswa yang sedang ditunggu dosen untuk presentasi ujian akhir saat itu. 

Tetapi bisakah Anda bayangkan bagaimana rasanya, jika Anda sedang ditunggu untuk presentasi ujian akhir yang mendebarkan, dan untuk itu Anda harus melewati jalan masuk bergelombang dengan batu-batu kerikil lepas bertebaran? Debaran dada Anda akan semakin menjadi-jadi dengan amplitudo bisa mencapai 9 skala Richter saat menapaki jalan rusak seperti itu.

Saya jelas punya pengalaman merasakan sendiri bagaimana menggidikkannya jika jalan masuk kampus kita berantakan seperti kali kering. Karena kurang lebih seperti itulah keadaan jalan masuk kampus asal saya. Boleh saja ia punya gedung yang unik dan mentereng. Tapi apalah artinya jika pada saat kita masuk ke kampus itu, seluruh sendi-sendi badan kita seperti bergeser dari posisinya saat melewati gerbang masuknya?

Tapi begitulah adanya. Padahal, menurut hemat saya, akses jalan masuk ke kampus itu adalah hal yang penting juga untuk diperhatikan oleh pemangku kebijakan. Setidaknya itulah cara beradab dalam menyambut dan menghargai para cerdik cendikia penghuni kampus serta para mahasiswa generasi harapan bangsa yang tiap hari berjibaku menyerap dan mengembangkan ilmu pengetahuan di kampus tersebut. Sesekali lihatlah bagaimana upaya pemindahan ibu kota kita ini dilakukan. Bukankah infrastruktur yang awal dibangun adalah jalan akses yang mulus?

Dulu, di pinggiran jalan sebelum masuk ke gerbang kampus saya ini berjejer kios-kios usaha rakyat kecil yang menjual dan melayani kebutuhan mahasiswa. Mulai fotocopy, rental komputer, editing foto, kuliner, pulsa dan sebagainya. Semuanya digusur. Dipindah tersebar-sebar, termasuk sebuah warung makan ikan bakar rakyat jelata favorit saya di dekat tikungan itu. Ketegaan ini semua demi menampakkan bahwa di balik kios-kios itu ada gedung kampus mentereng yang cantik. Lalu taman-taman di pinggir jalan itu ditata. Memang akhirnya kelihatan lebih baik. Tapi anehnya, jalan akses masuk kampusnya, persis masuk gerbang masuknya, luput penataan. Ia seolah dibiarkan seperti itu. Bergelombang dengan lubang di sana-sini. Batu-batu kerikil mencuat, tajam siap merobek ban-ban kendaraan. Setiap kali lampu sein dinyalakan untuk meminta jalan berbelok memasuki gerbang kampus, hati resah seketika. 

Apakah ini karena pelaksana penataan kios-kios rakyat itu adalah pemerintah kota sementara jalan masuk kampus adalah kewenangan rektor? Tetapi saya kira baik Walikota maupun Rektor sama-sama sukalah jalan yang mulus. Itu adalah hal yang manusiawi.

Ataukah hanya saya sendiri yang merasa tidak nyaman dengan keadaan jalan masuk itu?

Bisa jadi iya, sebab saat ini, mungkin hanya saya yang bisa membandingkan sendiri secara langsung dan merasakan bagaimana jalan masuk ke kampus ITB Ganesa melawan jalan masuk kampus asal saya. Sementara bagi mereka yang setiap hari keluar masuk di kampus saya itu, ya mereka mungkin biasa-biasa saja. Kan, ala bisa karena biasa. 

Jangan-jangan nanti setelah hasil foto Rontgen dokter menunjukkan adanya pergeseran sendi-sendi tubuh barulah kita sadar bahwa jalan utama masuk gerbang kampus kita sangat parah dan perlu perbaikan mendesak.

"Memangnya, kampusnya di mana, Kang?"

Aduh, maaf, saya harus akhiri tulisan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bandung Selengkapnya
Lihat Bandung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun