Pada 1 Syawal kemarin, kita telah merayakan 'kemenangan' kita dalam mengendalikan hawa nafsu. Kita semua tentu berharap agar segala amal ibadah kita diterima oleh Allah swt, do'a-do'a mohon ampunan kita diterima oleh Allah swt sehingga di saat fajar 1 Syawal terbit kita telah menjadi seperti manusia yang terlahir kembali. Suci tanpa dosa.
Maka, takbir, tahmid, dan tahlil bertalu-talu kita kumandangkan sebagai pengakuan kita atas keagungan dan ke-Mahabesar-an Allah swt sekaligus rasa syukur kita karena kita telah melewati dan 'menuntaskan' bulan training menundukkan hawa nafsu.
Sekarang, sebenarnya tibalah saat yang paling krusial itu. Yaitu perang melawan hawa nafsu yang sebenarnya. Selama kurang lebih 11 bulan ke depan, kita akan terus diperhadapkan pada aneka macam godaan hawa nafsu, siang-malam, tiap detik selama 24 jam!
Di situlah akan terlihat seberapa tinggi kualitas output yang kita peroleh selama training di bulan Ramadan lalu.
Ujian pertama terhadap raihan kemampuan pengendalian diri kita setelah menjalani 'pelatihan' selama bulan Ramadan adalah puasa di bulan Syawal.
Pada bulan Syawal ini, kita disunahkan untuk melakukan puasa selama 6 hari setelah perayaan idul fitri yang mungkin puncak perayaannya akan berlangsung selama dua hari yaitu sekitar tanggal 1-2 Syawal. Jadi puasa Syawal dapat kita mulai dua hari setelah lebaran.
Bagaimana hal ini bisa menjadi ujian?
Setelah lebaran idul fitri, maka sejak hari itu segala larangan makan-minum di siang hari selama  bulan puasa telah dicabut. Kita bebas makan pada jam berapa pun. Maka pada hari lebaran itu kita mungkin akan makan tiap beberapa jam. Saat berkunjung ke rumah kerabat, dijamu makanan, kita tentu akan memenuhi jamuannya. Berpindah ke kerabat lain, diberi jamuan makanan lagi. Makan lagi dan seterusnya sampai batas kemampuan perut. Itu wajar saja. Tidak ada larangan.
Nah, di tengah-tengah kemerdekaan makan-minum pada jam berapa pun itu, tiba-tiba ada anjuran untuk berpuasa selama enam hari. Apakah kita mampu mengendalikan diri kita kembali?
Mengendalikan diri untuk kembali menahan nafsu: lapar, haus, marah, kebutuhan biologis, di tengah kebebasan untuk melakukan itu semua?
Godaan hawa nafsu akan lebih kuat lagi ketika menjalani puasa sunah ini karena lingkungan tidak lagi dalam kondisi yang mendukung puasa kita. Kita boleh jadi sedang berpuasa sementara keluarga kita tidak melakukannya.