Bulan Ramadan telah berlalu. Bagi umat Islam, Bulan Ramadan adalah bulan diwajibkan untuk menjalani ibadah puasa.
Ibadah puasa bagi umat Islam bukan sekadar menahan lapar dan haus serta hubungan suami istri di siang hari, tetapi lebih dari itu umat Islam diharapkan untuk melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan ketakwaannya kepada Allah swt, sebab tujuan akhir ibadah puasa adalah untuk mencapai derajat orang-orang yang bertakwa. La'allakum tattaquun.
Inti dari ibadah puasa adalah pengendalian diri. Kita harus mampu mengendalikan diri saat berhadapan dengan makanan atau minuman. Menahan untuk tidak makan dan minum di siang hari. Pun di saat berbuka puasa pada waktu magrib, kita harus mengendalikan diri untuk tidak kalap menyantap hidangan buka puasa.
Kemampuan mengendalikan diri selama berpuasa di siang hari diuji saat berbuka puasa pada petang harinya. Apakah kita mampu mengendalikan diri untuk berbuka secukupnya sehingga kita dapat melakukan ibadah-ibadah tambahan di malam hari, seperti shalat berjamaah khususnya tarwih? Atau kita akan seperti hewan ternak yang baru saja dilepas dari kandangnya saat melihat hidangan di meja makan di waktu berbuka? Dengan melampiaskan dendam rasa lapar dengan melahap semua jenis makanan sampai perut penuh dan buru-buru booking kamar kecil sampai terlewatkan waktu shalat berjamaah.
Begitulah. Puasa adalah latihan pengendalian diri. Mengendalikan hawa nafsu.
Rasulullah saw pernah menyampaikan kepada para sahabatnya bahwa perang melawan hawa nafsu merupakan perang yang paling berat dilakukan. Melebihi dahsyatnya perang Badar yang pernah dijalani Rasulullah bersama para sahabat di masa awal penyebaran agama Islam.
Untuk itulah, kita sebagai umat Islam sudah sepantasnya bersyukur karena telah dianugerahi sebuah bulan yang mewajibkan kita berpuasa selama bulan itu, yakni bulan Ramadan yang baru saja berlalu. Camkanlah bahwa bulan puasa tersebut adalah bulan untuk melatih kita mengendalikan dan melawan hawa nafsu.
Jadi, apalah gunanya kita berlapar-lapar dan berhaus-haus, jika toh kita tak memiliki kemampuan mengendalikan hawa nafsu kita setelah menjalani ibadah ini?
Ya, Allah swt tetap akan memberikan pahala kepada kita terhadap usaha kita berpuasa sebagaimana janjinya yang akan memberikan sendiri pahala amalan puasa ini. Tetapi, ibadah puasa ini juga seyogyanya memberikan perubahan terhadap kemampuan kita mengendalikan hawa nafsu.
Ujian Pembuka Kemampuan Pengendalian DiriÂ
Sudah sepekan bulan puasa telah berlalu.
Pada 1 Syawal kemarin, kita telah merayakan 'kemenangan' kita dalam mengendalikan hawa nafsu. Kita semua tentu berharap agar segala amal ibadah kita diterima oleh Allah swt, do'a-do'a mohon ampunan kita diterima oleh Allah swt sehingga di saat fajar 1 Syawal terbit kita telah menjadi seperti manusia yang terlahir kembali. Suci tanpa dosa.
Maka, takbir, tahmid, dan tahlil bertalu-talu kita kumandangkan sebagai pengakuan kita atas keagungan dan ke-Mahabesar-an Allah swt sekaligus rasa syukur kita karena kita telah melewati dan 'menuntaskan' bulan training menundukkan hawa nafsu.
Sekarang, sebenarnya tibalah saat yang paling krusial itu. Yaitu perang melawan hawa nafsu yang sebenarnya. Selama kurang lebih 11 bulan ke depan, kita akan terus diperhadapkan pada aneka macam godaan hawa nafsu, siang-malam, tiap detik selama 24 jam!
Di situlah akan terlihat seberapa tinggi kualitas output yang kita peroleh selama training di bulan Ramadan lalu.
Ujian pertama terhadap raihan kemampuan pengendalian diri kita setelah menjalani 'pelatihan' selama bulan Ramadan adalah puasa di bulan Syawal.
Pada bulan Syawal ini, kita disunahkan untuk melakukan puasa selama 6 hari setelah perayaan idul fitri yang mungkin puncak perayaannya akan berlangsung selama dua hari yaitu sekitar tanggal 1-2 Syawal. Jadi puasa Syawal dapat kita mulai dua hari setelah lebaran.
Bagaimana hal ini bisa menjadi ujian?
Setelah lebaran idul fitri, maka sejak hari itu segala larangan makan-minum di siang hari selama  bulan puasa telah dicabut. Kita bebas makan pada jam berapa pun. Maka pada hari lebaran itu kita mungkin akan makan tiap beberapa jam. Saat berkunjung ke rumah kerabat, dijamu makanan, kita tentu akan memenuhi jamuannya. Berpindah ke kerabat lain, diberi jamuan makanan lagi. Makan lagi dan seterusnya sampai batas kemampuan perut. Itu wajar saja. Tidak ada larangan.
Nah, di tengah-tengah kemerdekaan makan-minum pada jam berapa pun itu, tiba-tiba ada anjuran untuk berpuasa selama enam hari. Apakah kita mampu mengendalikan diri kita kembali?
Mengendalikan diri untuk kembali menahan nafsu: lapar, haus, marah, kebutuhan biologis, di tengah kebebasan untuk melakukan itu semua?
Godaan hawa nafsu akan lebih kuat lagi ketika menjalani puasa sunah ini karena lingkungan tidak lagi dalam kondisi yang mendukung puasa kita. Kita boleh jadi sedang berpuasa sementara keluarga kita tidak melakukannya.
Apakah ini bukan ujian yang lebih berat ketimbang puasa pada bulan Ramadan?
Tetapi tentu saja bagi yang berhasil memiliki tingkat pengendalian diri yang bagus selama bulan 'latihan' Ramadan, tentu hal ini relatif mudah. Apalagi dengan iming-iming pahala tambahan yang dijanjikan oleh Allah swt.
Jadi, jelaslah puasa sunah enam hari di bulan Syawal adalah sebuah ujian tersendiri terhadap kualitas kemampuan pengendalian diri kita yang semestinya kita peroleh selama bulan Ramadan.
Saya, insya Allah akan memulai puasa sunah Syawal saya pada hari Senin, tanggal 1 Mei 2023.
Bagaimana dengan Anda?
Rasanya ini masih dalam nuansa lebaran idul fitri, maka izinkan saya mengucapkan: "Selamat Idul Fitri. Taqabbalallahu minna wa minkum."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H