Mohon tunggu...
MUHAMMAD REZA SETIAWAN
MUHAMMAD REZA SETIAWAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - forester I practitioners I learners I reader I traveller I adventurer !

Jalanmu mungkin tidak cepat namun percayalah rencana Allah selalu tepat! Sabar, ikhlas, ikhtiar. ~ Sajak Salaf

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Hutan Desa, Aksi Kolektif dan Tingkat Partisipasi

11 Juni 2024   23:54 Diperbarui: 12 Juni 2024   07:25 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dramaga, Bogor - Hutan Desa yang dikelola melalui aksi kolektif (collective action) memiliki potensi besar untuk memberikan dan membawa kelestarian sumber daya hutan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Untuk itu, mendorong aksi kolektif adalah upaya serius untuk memastikan potensi sumber daya alam dapat termanfaatkan dan terkelola secara maksimal. Akan tetapi, aksi kolektif membutuhkan keterlibatan dari berbagai pemangku kepentingan.

Hutan desa merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat. Dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa, dan dikelola oleh lembaga desa yang dibentuk oleh pemerintah desa. Hutan desa dapat dikelola melalui kooperasi, dan Badan Usaha Miliki Desa (BUMDes), namun di beberapa wilayah pengelolaan hutan desa dikelola oleh lembaga yang dibentuk terpisah, disebut lembaga pengelola hutan desa (LPHD).

Selain keterlibatan para pemangku kepentingan terkait, instrumen lain yang mendukung aksi kolektif adalah adanya koordinasi, kolaborasi (kerjasama), dan kepemimpinan lokal yang kuat. Kerjasama yang baik memerlukan koordinasi antar pihak terkait, sedangkan kepemimpinan lokal yang kuat menjadi faktor pendorong untuk memastikan mobilisasi masyarakat lokal dan memfasilitasi relasi dengan pihak eksternal untuk menerima manfaat dari hutan.

Dengan demikian, pengelolaan Hutan Desa dapat berkelanjutan dan lebih efektif dalam mengatasi tantangan pengelolaan sumber daya hutan yang sangat rentan terhadap eksploitasi berlebihan. Meski demikian, pengelolaan hutan desa masih belum optimal di beberapa wilayah yang disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah partisipasi dari para pemangku kepentingan.

Partisipasi mencakup keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan terkait dalam suatu program baik pada proses pengambilan keputusan, pelaksanaan program, pembagian manfaat program pembangunan, maupun upaya mengevaluasi program tersebut.

Cohen dan Uphoff (1980) membagi partisipasi ke dalam 4 (empat) jenis, yakni: (1) keterlibatan dalam pengambilan keputusan, (2) keterlibatan dalam implementasi, (3) keterlibatan dalam manfaat, dan (4) keterlibatan dalam evaluasi. Dalam pengelolaan sumber daya, partisipasi bertujuan untuk mengoptimalkan dan mencapai tujuan program Hutan Desa.

Keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan terkait dalam program Hutan Desa dapat menciptakan aksi kolektif atau tindakan bersama atas kepentingan dan keputusan bersama. Dengan aksi kolektif, diharapkan mampu mengendalikan perilaku opportunistic atau mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari anggota atau kelompok masyarakat tertentu (Ostrom et al. 1994).

Dengan keterlibatan para pemangku kepentingan terkait akan membawa rasa tanggungjawab dan komitmen (engagement) atas keputusan yang telah dibuat dan disepakati secara kolektif, tak terkecuali dalam pengelolaan Hutan Desa. Saat yang sama, keterlibatan pihak-pihak yang bekepentingan juga membantu menciptakan alternatif solusi yang bermanfaat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi.

Arnstein (1969) menyusun model tangga partisipasi masyarakat yang terbagi ke dalam 3 (tiga) derajat partisipasi yaitu: (1) Derajat kekuasaan warga negara (degrees of citizen power) yang terdiri dari kontrol warga negara (citizen control), pendelegasian kekuasaan (delegated power) dan kemitraan (partnership), (2) Derajat tokenisme (degress of tokenism) terdiri dari menginformasikan (informing), konsultasi (consultation) dan penempatan (placation), dan (3) Tidak ada partisipasi (non-participation) yang terdiri dari manipulasi (manipulation) dan terapi (therapy).

1. Kontrol warga negara (citizen control)

Tahap ini menjelaskan bahwa masyarakat lebih mendominasi dalam pengambilan keputusan. Masyarakat memiliki tingkat kekuasaan (atau kendali) yang kuat untuk menjamin bahwa mereka dapat mengatur suatu program atau lembaga, bertanggung jawab penuh atas aspek kebijakan dan pengelolaan, serta mampu menegosiasikan kondisi yang memungkinkan “pihak luar” dapat terlibat.

2. Pendelegasian kekuasaan (delegated power)

Tahap ini menjelaskan bahwa masyarakat memegang wewenang yang didelegasikan untuk membuat keputusan. Negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan dapat memberikan masyarakat mempunyai wewenang untuk pengambilan keputusan dalam membuat rencana atau program tertentu. Pada tahap ini masyarakat memegang kendali penting untuk menjamin akuntabilitas program kepada mereka yang didelegasikan oleh pemegang kekuasaan.

3. Kemitraan (partnership)

Tahap ini menjelaskan bahwa kekuasaan telah terdistribusi melalui negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan secara merata. Mereka sepakat untuk berbagi tanggungjawab perencanaan dan pengambilan keputusan melalui struktur lembaga kebijakan secara bersama. Hal ini memungkinkan peraturan dibuat dan ditetapkan dengan mempertimbangkan saran dan masukan dari pihak masyarakat dan pemegang kekuasan. Peraturan yang dibuat tidak dapat diubah secara sepihak.

4. Penempatan (placation)

Tahap ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai mempunyai pengaruh meskipun tokenisme masih terlihat jelas. Masyarakat mungkin menyadari bahwa mereka telah berpartisipasi, namun belum mendapatkan keuntungan melebihi apa yang dikehendaki pemegang kekuasaan. Dengan kata lain, pemegang kekuasaan hanya berupaya memenangkan masyarakat namun tidak melakukannya.

5. Konsultasi (consultation)

Tahap ini menjelaskan bahwa masyarakat dilibatkan dan diundang dalam penyampaian informasi oleh pemegang kekuasaan. Masyarakat dapat memberikan saran dan masukan terhadap informsi tersebut, namun tidak ada jaminan bahwa masukan dan gagasan dari masyarakat akan diterima dan dipakai. Pemegang kekuasaan membatasi masukan dan gagasan masyarakat. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat hanya sebuah formalitas.

6. Menginformasikan (informing)

Tahap ini menjelaskan bahwa pemegang kekuasaan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai hak, tanggung jawab dan pilihan mereka. Namun, pemberian informasi ini hanya satu arah, dari pemegang kekuasaan atau pejabat ke masyarakat, tanpa adanya umpan balik atau pandangan dari masyarakat. Dengan kata lain, pemegang kekuasan sekedar memberikan informasi tanpa mendengar tanggapan dan gagasan masyarakat.

7. Terapi (therapy)

Tahap ini menjelaskan bahwa pemegang kekuasaan menyamarkan pelibatan masyarakat dengan mengajak bertukar informasi untuk tujuan meredam arogansi masyarakat, namun informasi itu hanya sampai kepada masyarakat dan tidak ditindaklanjuti atau dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan.

8. Manipulasi (manipulation)

Tahap ini menjelaskan bahwa pemegang kekuasaan dapat dengan mudah merekayasa dan memainkan informasi dan dukungan terkait keterlibatan masyarakat dalam suatu program pemerintahan. Tahap ini menandakan distorsi partisipasi menjadi sarana penghubung antara masyarakat dan pemegang kekuasaan untuk memperoleh dukungan tetapi hal itu hanya permainan pemegang kekuasaan. Seringkali program pemerintah yang dibuat bukan berdasarkan hasil diskusi atau kajian dan kebutuhan di masyarakat tetapi karena kepentingan pemegang kekuasaan semata yang dibungkus atas nama “pelibatan masyarakat”.

Partisipasi menempati posisi krusial dalam pemikiran dan praktik pengelolaan sumber daya hutan, tak terkecuali pengelolaan Hutan Desa. Konsep partisipasi merupakan konsep utama pembangunan yang terus berkembang dan relevan seiring berjalannya waktu. Tanpa partisipasi, pengelolaan Hutan Desa tidak akan berjalan optimal.

Dari model tangga partisipasi yang diuraikan Arnstein (1969). Konsep yang dapat diterapkan untuk mendukung keberhasilan pengelolaan Hutan Desa adalah dengan pola kemitraan (partnership).

Konsep ini menjadi sangat ideal karena tidak ada unsur yang lebih dominan dalam pengelolaan hutan baik masyarakat dan pemegang kekuasaan. Hal ini memungkinkan partisipasi dapat berjalan optimal dan saling mengontrol satu sama lain. Dominasi salah satu pihak dapat berdampak terhadap sikap dan perilaku. 

Sikap dan perilaku yang tidak dapat dikontrol akan cenderung mengarah pada perbuatan yang merusak dan merugikan. Dalam konteks pengelolaan hutan desa, eksploitasi sumber daya hutan dilakukan tanpa aturan yang mengatur sehingga akan merusak ekosistem dan mata pencaharian masyarakat lokal. Untuk itu, sikap dan perilaku ini perlu dikontrol secara bersama untuk memastikan pengelolaan hutan berjalan sesuai semangat dan tujuan program Hutan Desa.

Menurut Arnstein (1969), partisipasi masyarakat tanpa redistribusi kekuasaan adalah proses hampa dan membuat frustasi mereka yang tidak berdaya. Hal ini memungkinan para pemegang kekuasaan untuk mengklaim bahwa semua pihak telah dipertimbangkan dan dilibatkan, tetapi memungkinkan hanya beberapa pihak saja yang diuntungkan atau dilibatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun