Dramaga, Bogor - Hutan Desa yang dikelola melalui aksi kolektif (collective action) memiliki potensi besar untuk memberikan dan membawa kelestarian sumber daya hutan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Untuk itu, mendorong aksi kolektif adalah upaya serius untuk memastikan potensi sumber daya alam dapat termanfaatkan dan terkelola secara maksimal. Akan tetapi, aksi kolektif membutuhkan keterlibatan dari berbagai pemangku kepentingan.
Hutan desa merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat. Dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa, dan dikelola oleh lembaga desa yang dibentuk oleh pemerintah desa. Hutan desa dapat dikelola melalui kooperasi, dan Badan Usaha Miliki Desa (BUMDes), namun di beberapa wilayah pengelolaan hutan desa dikelola oleh lembaga yang dibentuk terpisah, disebut lembaga pengelola hutan desa (LPHD).
Selain keterlibatan para pemangku kepentingan terkait, instrumen lain yang mendukung aksi kolektif adalah adanya koordinasi, kolaborasi (kerjasama), dan kepemimpinan lokal yang kuat. Kerjasama yang baik memerlukan koordinasi antar pihak terkait, sedangkan kepemimpinan lokal yang kuat menjadi faktor pendorong untuk memastikan mobilisasi masyarakat lokal dan memfasilitasi relasi dengan pihak eksternal untuk menerima manfaat dari hutan.
Dengan demikian, pengelolaan Hutan Desa dapat berkelanjutan dan lebih efektif dalam mengatasi tantangan pengelolaan sumber daya hutan yang sangat rentan terhadap eksploitasi berlebihan. Meski demikian, pengelolaan hutan desa masih belum optimal di beberapa wilayah yang disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah partisipasi dari para pemangku kepentingan.
Partisipasi mencakup keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan terkait dalam suatu program baik pada proses pengambilan keputusan, pelaksanaan program, pembagian manfaat program pembangunan, maupun upaya mengevaluasi program tersebut.
Cohen dan Uphoff (1980) membagi partisipasi ke dalam 4 (empat) jenis, yakni: (1) keterlibatan dalam pengambilan keputusan, (2) keterlibatan dalam implementasi, (3) keterlibatan dalam manfaat, dan (4) keterlibatan dalam evaluasi. Dalam pengelolaan sumber daya, partisipasi bertujuan untuk mengoptimalkan dan mencapai tujuan program Hutan Desa.
Keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan terkait dalam program Hutan Desa dapat menciptakan aksi kolektif atau tindakan bersama atas kepentingan dan keputusan bersama. Dengan aksi kolektif, diharapkan mampu mengendalikan perilaku opportunistic atau mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari anggota atau kelompok masyarakat tertentu (Ostrom et al. 1994).
Dengan keterlibatan para pemangku kepentingan terkait akan membawa rasa tanggungjawab dan komitmen (engagement) atas keputusan yang telah dibuat dan disepakati secara kolektif, tak terkecuali dalam pengelolaan Hutan Desa. Saat yang sama, keterlibatan pihak-pihak yang bekepentingan juga membantu menciptakan alternatif solusi yang bermanfaat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi.
Arnstein (1969) menyusun model tangga partisipasi masyarakat yang terbagi ke dalam 3 (tiga) derajat partisipasi yaitu: (1) Derajat kekuasaan warga negara (degrees of citizen power) yang terdiri dari kontrol warga negara (citizen control), pendelegasian kekuasaan (delegated power) dan kemitraan (partnership), (2) Derajat tokenisme (degress of tokenism) terdiri dari menginformasikan (informing), konsultasi (consultation) dan penempatan (placation), dan (3) Tidak ada partisipasi (non-participation) yang terdiri dari manipulasi (manipulation) dan terapi (therapy).
1. Kontrol warga negara (citizen control)