hasil hutan bukan kayu (HHBK). Pemanfaatan hasil HHBK bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Disisi lain, pemanfaatan HHBK tidak memerlukan teknologi yang canggih, namun mampu memberikan produk yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan ramah lingkungan.
Bogor, Jawa Barat - Hutan menyediakan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, baik manfaat hasil hutan berupa kayu maupunSalah satu hasil HHBK yang bernilai komersial dan potensial untuk dikembangkan saat ini adalah getah pinus. Getah pinus adalah salah satu HHBK yang bernilai komersial dan potensial untuk dikembangkan saat ini (Lempang 2017). Pinus mercusii Jungh et de Vriese termasuk tanaman asli Indonesia yang termasuk dalam family Pinaceae. Pohon pinus ini disebut juga dengan nama damar bunga, nama batu, kayu sala, kayu sugi, tusam, dan huyam (Sumatera) atau pinus (Jawa) serta tersebar di beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh dan seluruh Jawa.
Disamping dimanfaatkan kayunya sebagai bahan baku pembuatan peralatan rumah tangga, kertas, hiasan dinding, dan furniture. Getah pinus juga disadap getahnya sebagai bahan baku gondorukem dan terpentin. Gondorukem digunakan sebagai bahan campuran batik tulis dan cetak, dan tidak hanya itu, juga dapat diolah untuk campuran bahan-bahan cat, sabun, dan vernis. Sedangkan terpentin digunakan sebagai bahan baku maupun campuran dalam industri cat, minyak, deterjen, parfume, insektisida, plastik, obat-obatan, dan karet.
Getah pinus merupakan semacam oleoresin yakni campuran senyawa komplek resin dan terpentin cairan kental dan lengket, benim atau buram. Oleoresin ini dapat larut dalam alkohol, benzene, eter dan banyak pelarut lainnya, tetapi tidak larut dalam air. Pemanfaatan getah pinus dilakukan dengan cara penyadapan. Penyadapan getah pinus dapat dilakukan dengan berbagai metode quarre (Koakan), bor, dan kopral (riil) dengan menggunakan atau tanpa menggunakan stimulan atau cairan perangsang. Namun demikian, pada tulisan ini hanya akan membahas perbedaan dan keunggulan pada metode quarre (koakan) dan metode bor.
Metode Quarre (Koakan)
Penyadapan dengan metode ini berbentuk huruf U terbalik. Penyadapan dilakukan dengan mengerok lapisan kulit luar pohon pinus sampai kulit bagian dalam pohon terlihat. Kemudian melukai pohon dengan alat sadap yang disebut kedukul/pethel/kedakul dengan ukuran koakan lebar ± 5 cm, tinggi 20-30 cm dan tebal ± 3 mm atau sampai menyentu kayu bagian dalam (Sukadaryati 2014).
Selanjutnya mengukur dengan alat pengukur (pita ukur) yang ditempelkan ke batang pohon bagian dalam. Menandai batang pohon bagian dalam sesuai dengan bentuk pita ukur dengan menggunakan kapur untuk memudahkan proses penyadapan getah pinus. Membuat kotak-kotak vertikal pada pohon bagian dalam dengan jumlah sesuai perlakuan (pita ukur). Berikutnya membuat lubang pada bagian bawah batang pinus ± 3-5 cm. Meratakan bagian bawah lubang dengan menggunakan parang yang dipukul dengan alat kedakul. Menyimpan talang sadap ukuran 10 cm x 3 cm dan batok kelapa sebagai tempat aliran dan penampung getah pinus.
Berikutnya menyemprotkan cairan stimulan (H2SO4) dengan menggunakan semprotan. Menunggu getah pinus mengalir ke wadah yang telah disediakan. Arah koakan vertikal sehingga getah dapat mengalir ke bawah menuju tempat penampungan getah. Getah yang dikeluarkan ditampung di batok.
Kegiatan penyadapan dengan metode quarre (koakan) terlebih dahulu dengan mempersiapkan peralatan sadap meliputi: kedukul/pethel/kedakul, pita ukur, parang, talang sadap ukuran 10 cm x 3 cm, batok kelapa, semprotan dan cairan asal sulfat (H2SO4) atau stimulun. Pengerjaan metode koakan relatif aman dengan menggunakan pakaian yang sederhana seperti topi, sepatu bot, sarung tangan, celana dan baju lengan panjang.
Penyadapan ini cukup melibatkan satu orang pekerja (tenaga kerja lebih sedikit) yang dapat dikerjakan seorang diri, mulai dari pengerok kulit pohon sampai pengambilan getah pinus. Pembuatan lubang sadap dilakukan dengan posisi duduk/jongkok, serta  dilakukan pada satu pohon pinus saja untuk setiap lubang sadap. Hal ini disebabkan ukuran lubang yang relatif lebih besar dan lebar.
Selain itu, biaya metode penyadapan koakan lebih murah dan mudah dilaksanakan sehingga banyak dipilih oleh para petani. Sejalan dengan itu, Dulsalam (1998) dalam Sukadaryati (2014) menjelaskan bahwa biaya yang diperlukan dalam penyadapan cara bor lebih tinggi daripada koakan sehingga penyadapan koakan lebih disarankan dalam penyadapan pinus.