Kenyataannya, kubu Aburizal Bakrie masih memberi mereka sedikit rasa hormat. Yaitu melibatkan Agung Laksono dan gerombolannya untuk ikut dalam suatu acara yang disebut belakangan dengan istilah SILATURAHMI. Perhelatan ini pun tergelar pada 1 November 2015. Sebuah acara yang dihadiri oleh kawanan pemberontak dan yang diberontak.
Bagi saya, silaturahmi untuk Agung Laksono dan gerombolannya itu tidak cocok. Yang paling cocok untuk mereka adalah Requiem. Atau semacam Kebaktian Rasa Malu. Saya punya alasan mengapa Agung Laksono dan gerombolannya sangat membutuhkan Kebaktian itu. Pertama, AL dan gerombolan sudah sowan ke kantor DPP Partai Nasdem dan diterima oleh Ketum Surya Paloh. Mereka datang atas nama DPP Partai Golkar yang sah dari Munas Ancol. Lalu, Bang Surya sang ketua Pastai Nasdem yakin Partai Golkar akan lebih baik di tangan Agung Laksono. Agung pun berterima kasih.
Bukan hanya DPP Partai Nasdem yang mereka sambangi. Mereka juga menyerahkan “nasib mereka” kepada Ketum PDI Perjuangan Hj Megawati Soekarno Putri dalam sebuah lawatan resmi di Teuku Umar, rumah kediaman Ibu Mega di bilangan Menteng Jakarta. Ibu Mega berpesan agar hubungan antara PDI Perjuangan dan Partai Golkar Agung Laksono dapat menjadi lebih baik.
Mereka juga datang ke DPP Partai Hanura sebagai Partai Golkar yang Sah untuk mendapatkan pengakuan. Agung Laksono dan gerombolannya juga sowan minta dukungan ke DPP Partai PAN, DPP Partai PKB, DPP Partai PPP versi Pemerintah. Berbagai ormas juga telah mereka kunjungi untuk mendapatkan pengakuan.
Lebih dari itu, “negara tetangga Partai Golkar”, yaitu Pemerintah Republik Indonesia juga mengundang Agung Laksono sebagai Ketum Partai Golkar untuk hadir pada acara 17an di Istana Merdeka. Agung Laksono juga hadir di Muktamar Muhammadiyah di Makassar sebagai Ketum Partai Golkar. Di daerah-daerah, gerombolan Agung Laksono juga sibuk berMusda di kebun-kebun pisang, rumah makan, di pekarangan rumah warga. Gerombolan Agung Laksono juga sudah memecat sebagian besar anggota fraksi Partai Golkar di berbagai DPRD Kabupaten/Kota/Provinsi yang pro Aburizal Bakrie.
[caption caption="Ibu mega | sumber: http://www.rmol.co/"]
Di DPR RI, sang Caleg gagal Yoris Raweyay dan jongosnya dengan kekuatan fisik yang tidak beretika dan tidak bermoral, datang ke gedung DPR RI dan mencungkil paksa pintu ruang Fraksi Partai Golkar. Mereka memaksa agar fraksi Partai Golkar dikosongkan dan lalu diserahkan kepada Agung Laksono. Itulah fakta-fakta Agung Laksono dan gerombolannya tidak mempunyai rasa malu sedikit pun.
Itulah yang saya pikirkan, mengapa Agung Laksono dan gerombolannya sangat membutuhkan Kebaktian Rasa Malu itu. Karena sudah terlanjur berlagak seakan mereka sedang menyetir Partai Golkar asli, padahal oplosan, abal-abal. Partai-partai yang DPPnya telah terima Agung Laksono dan gerombolannya, juga butuh terlibat dalam Kebaktian Rasa Malu itu. Partai-partai itu juga membutuhkan Kebaktian Rasa Malu itu, karena merekalah ikut membesarkan hati Agung Laksono dan gerombolannya untuk terus menyembunyikan kepalsuannya.
Lalu, bagaimana dengan “negara tetangga” Partai Golkar? Yang tepat untuk mereka bukan silaturahmi. Bukan Kebaktian Rasa Malu. Yang utama untuk Pemerintah Republik Indonesia adalah mereshuffle diri atas “Kemaluan” yang telah mereka pilih itu. Sebuah pemerintah yang digerakkan oleh (p)residen (j)okowi tanpa rasa malu.
Setelah Misa Rasa Malu itu, mereka harus sawer ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Mereka, Agung Laksono dan gerombolannya, termasuk Pemerintah Republik Indonesia dihukum denda uang sebesar Rp 100 milyar, dari Rp 1 trilyun yang dituntutkan oleh Aburizal Bakrie dan Idrus Marham. Denda itu disahkan oleh PN Jakarta Utara dan PT Jakarta. Selain menanggung malu, mereka juga harus membayar denda itu.
Saran saya, pengurus Agung Laksono sebaiknya bayar dulu Rp 100 milyar denda ke PN Jakarta Utara. Setelah pembayaran itu, barulah disusul pemusnahan semua hasil DINNER Ancol Jakarta 2014 silam itu.