Sebenarnya tanpa sadar, banyak hal yang terjadi di rumah tangga yang sudah masuk dalam lingkup KDRT. Hanya saja mungkin waktu itu belum ada yang berani karena dampaknya memang luar biasa.Â
Sangat tabu menceritakan perilaku suami atau istri. Bahkan yang setiap hari terlihat mesra dan baik-baik saja, menyimpan luka mendalam untuk urusan rumah tangga karena khawatir akan merembet kemana-mana. Tidak sedikit orang di sekitar saya memilih diam dan menjalaninya sebagai takdir. Tidak lain karena ada sederet nama baik yang perlu dijaga.
Namun, belakangan media sosial pun menjadikan KDRT sebagai sesuatu yang sangat empuk untuk viral. Gampang sekali. Menyebarkan satu video adegan kekerasan, baik psikis atau fisik, auto viral dan sudah dijadikan topik pembicaraan seluruh Indonesia bahkan dunia. Maka tidak salah kalau Indonesia darurat KDRT saat ini.Â
Sayangnya, tidak semua mampu menjadikan topik ini pelajaran. Orang-orang di pelosok negeri, perempuan atau laki-laki yang tinggal di daerah terpencil, bisa saja mengalami ini setiap hari tetapi tidak tahu itu adalah bentuk KDRT. Mereka menjalaninya bahkan dengan rasa penerimaan karena menganggap semua sudah diatur dengan pemilik hidup. Lalu, bagaimana mereka yang seperti ini? Ada berapa banyak kasus yang tidak terungkap?Â
Tahu Dulu Apa Saja Bentuk KDRT
KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga itu ternyata tidak hanya berupa aktivitas buruk seperti memukul, menendang, menjambak rambut atau aktivitas fisik kejam lainnya. KDRT itu ada banyak jenisnya, antara lain:
Kekerasan Fisik
Seperti yang saya contohkan sebelumnya yaitu memukul dan kekerasan yang mengakibatkan fisik korban mengalami bekas luka, memar atau tanda lainnya sebagai bukti telah terjadi kekerasan. Biasanya ada yang menahan sakitnya kekerasan fisik karena takut makin mengalami yang lebih hebat dari yang diterimanya selama ini.Â
Jadi wajar kalau misalnya kekerasan itu tak tampak secara kasat mata, maka tetangga atau orang terdekat tidak akan melihatnya dengan saksama dan menganggap semua baik-baik saja.Â
Kekerasan Psikis
Pernah dengar kalimat:Â
"Andai kamu nurut sama aku, aku gak bakalan mukul kamu."Â
"Kamu berani lapor sama keluarga, nama baik keluargamu akan hancur di masyarakat."
"Gitu saja kamu tidak bisa. Lihat sana istri orang bisa masak, nyuci, ngurus anak dan suami tanpa megang banyak uang."
Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat yang menekan psikis korban sehingga akhirnya menerima perlakuan KDRT sebagai bentuk takdir yang harus dijalani.Â
Kekerasan Seksual
Hubungan suami istri memang akan ada yang namanya "bercampur" satu sama lain. Namun, ketika "aktivitas berhubungan" itu menjadi terpaksa bagi salah satu pasangan, itu bisa termasuk KDRT. Hasilnya salah satu pasangan yang merasa terpaksa melakukannya mengalami rasa tidak nyaman, terkekang dan pastinya sulit memberontak.Â
Nah, jika ini terjadi perlu waspada. Sebaiknya memang pasangan harus paham bahwa hubungan itu harus berlangsung saat keduanya siap. Bukan karena alasan suami harus dipatuhi lantas istri harus mau saja terus tanpa mempertimbangkan perasaannya kala itu. Sedang sakit atau sedang melakukan pekerjaan penting apa.Â
Terpaksa melakukan itu bukan menjadikan pasangan makin bahagia malah menanam bom waktu yang suatu saat akan meledak ketika yang merasa terpaksa sudah berada di ambang batas keterpaksaannya.Â
Penelantaran
Menikah tetapi tidak dinafkahi lahir batin? Itu juga masuk dalam KDRT karena sama halnya ditelantarkan. Apalagi kalau sudah tidak diberikan juga tempat tinggal layak. Sungguh sangat terlalu perilaku KDRT seperti ini. Geram juga rasanya dan memang tidak tahu harus menyalahkan siapa jika sudah seperti ini. Sebab, pasti akan dikembalikan pada masing-masing pasangan, terlebih pada korban, "Mengapa menikahi jika tahu tak mampu menjadikan pasangannya sebagai orang yang berhak mendapatkan nafkahnya?"
LIVE Cak Kaji
Hmm, bagi yang mau tahu lebih detil lagi soal KDRT ini, bisa simak rekaman live dari Ibu Zaitun Taher, SH. bersama salah satu member Cak Kaji (Cangkrukan Kompasianer Jatim) yang merupakan advokat sekaligus pengurus PPA DPC PERADI SBY, yang menjelaskan dengan detil KDRT dan hal-hal yang terkait dengannya. Saya pun jadi tahu bagaimana awal mula KDRT itu bisa ada bahkan banyak yang bungkam karena berbagai alasan yang secara logika memang sangat patut jadi pertimbangan.Â
Namun, kalau menormalisasi kekerasan rasanya bukan diri saja yang hancur tetapi bangsa ini karena orang-orang berperilaku binatang bisa melenggang santai tanpa hukuman. Makanya sangat perlu bersuara dan memberikan bukti jika memang KDRT itu terjadi dan tidak hanya sekali.Â
***Â
Well, jangan pernah menormalisasi kekerasan yang terjadi. Bisa simak lagi pembagiannya sebab bisa jadi dialami tetapi tidak terasa karena kurang wawasan atau bisa jadi merasa itu sesuatu yang menyusahkan. Memang kita butuh tenang tetapi setidaknya tahu cara tenang yang baik sebelum akhirnya kita tinggal nama, bukan?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H