"Cuma sekedar janji, tidak ada bukti". Kalimat ini tentu sangat sering kamu dengar. Bahkan biasanya kamu ucapkan. Tapi, saya tidak sementara membahas soal keretakan sebuah hubungan pacaran. Lalu apa? Saya kira kamu sudah bisa menebaknya. Betul. Ini soal orang-orang yang menyandang gelar politikus.
Ada banyak teori para ahli ilmu sosial politik dalam menerjemahkan pengertian politik. Tapi, Secara sederhana, saya memahami politik merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan. Tentunya ada proses yang terjadi dalam upaya tersebut, Proses dalam mencapai upaya itulah yang kemudian melibatkan unsur politik.
Semisal, ketika kamu hendak berpergian menggunakan kendaraan. Ada dua kendaraan yang tersedia yaitu sepeda dan motor. Jika tujuan kamu berpergian untuk sekedar berolahraga, tentunya kamu memilih sepeda. Sebaliknya, jika tujuan kamu berpergian untuk mencapai tujuan dengan cepat, maka pasti kamu akan memilih motor. Nah, upaya memilih berdasarkan kebutuhan dan keinginan (tujuan) itulah yang secara tidak langsung kamu sementara melakukan praktek politik.
Sehingga bicara soal politik, kehidupan sehari-hari manusia, disadari atau tidak, sebenarnya telah menyertakan berbagai unsur politik.
Seiring berkembagnya ilmu pengetahuan. Politik tidak luput dari pengkajian dan terus mengalami kemajuan teori dan praktek. Sehingga, yang paling akrab ditelinga masyarakat saat ini, ada yang disebut politik praktis dengan wadahnya melalui partai politik.
Kehadiran partai politik diharapkan dapat menampung berbagai masalah serta mampu menemukan sebuah solusi dalam masyarakat. Melalui semangat perwakilan. Artinya, masyarakat memberikan kepercayaan terhadap beberapa orang yang dianggap memiliki kemampuan lebih untuk membawa ke arah yang lebih baik. Di legitimasi melalui partai, kemudian di lembagakan dengan sebutan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Tetapi, tak jarang kamu dapati, semangat perwakilan ternyata tidak sepenuhnya benar-benar mewakili masyarakat. Beragam persoalan di nilai tidak dapat disandarkan dan diselesaikan oleh beberapa orang saja. Akhirnya, banyak masyarakat yang merasakan kekecewaan kepada seorang wakil yang telah dipilihnya. Maka, biasanya yang akan terjadi, masyarakat akan merubah pilihannya pada saat kesempatan berikutnya.
Sehingga kitapun sudah ketahui bersama, saat ini banyak masyarakat yang merasakan kekecawaan atas kinerja wakilnya.
Kalau merujuk pada kata "Wakil", tentu kamu juga bersepakat bahwa masih ada yang lebih tinggi diatasnya. Nah, pada konteks perwakilan rakyat, maka secara otomatis rakyatlah yang menjadi pimpinannya. Hanya saja, selaku pimpinan, rakyat memiliki kekuatan untuk menentukan wakilnya, namun tidak memiliki daya apa-apa untuk kemudian memecat atau mengganti wakilnya, kecuali menunggu lima tahun sekali. Begitulah.
Kembali ke persolan politikus. Politikus, yang saya maksudkan di sini, adalah orang yang mengurusi hajat hidup orang banyak dengan bergelut dalam lembaga partai politik serta orang-orang yang memperoleh gelar pemimpin dinegara ini atas pilihan rakyat, yaitu didalamnya ada anggota DPR dan presiden, gubernur serta bupati, termasuk tingkat desa dan kelurahan (kecuali camat, penunjuka langsung oleh bupati).
Dan ketika membahas soal politikus, maka harus pula disertakan didalamnya mengenai kekecawaan rakyat. Politikus dan kekecawaan rakyat merupakan suatu hal yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Keduanya selalu bersama namun tidak bersatu sepenuhnya. Seperti semboyan, bersama tidak harus sama. Keduanya menjadi dwitunggal.
Kenapa ketika menyoal politikus harus pula mengikutkan kekecawaan rakyat? Karena kekecawaan rakyat merupakan sebuah respon sadar ketika menilai seorang politikus. Kalaupun tidak semua rakyat merasakan demikian, tapi bisa dipastikan jumlah barisan kekecawaan lebih besar ketimbang yang tidak. Saya kira ini sudah menjadi rahasia umum dalam kehidupan bermasyarakat kita.
Perasaan kekecewaan ini tentu tidak serta merta timbul dengan sendirinya. Ada beberapa sebab yang secara logis mengundangnya. Saya ingin menyampaikan salah satunya. Yaitu, pada umumnya kita jumpai bersama, diakibatkan karena kinerja yang dihasilkan tidak berbanding sejajar dengan janji yang diucapkan. Semasa kampanye, mereka hadir di tengah masyarakat layaknya seperti seorang malaikat. Sementara ketika terpilih, sontak terserang penyakit amnesia yang mulai lupa atas rakyatnya, bahkan mungkin (sengaja atau pura-pura) lupa pada janji-janjinya.
Maka tidak heran jika seorang politikus, memiliki gelar tambahan dari rakyatnya sebagai "Penebar Janji". Suka mengotori bibirnya sendiri dan telinga rakyatnya dengan menyebarkan janji yang tidak diniatkan untuk ditunaikan. Semata-mata dilakukan sebagai upaya menarik simpati untuk memperoleh suara agar bisa bertamasya di gedung-gedung mewah itu.
Memang seorang pekerja, sudah barang pasti ada sesuatu yang dikerjakan. Petani, menggarap tanah. Nelayan, mengolah air. Buruh, mengolah pabrik. Kesemuanya butuh tenaga yang super. Bagaimana dengan pekerja politik atau politikus? Tentu, ada juga yang mereka kerjakan. Pekerjaan mereka adalah mengolah lidah, mengumbar janji. Dan tentunya tidak terlalu menguras tenaga.
Dan hebatnya, para politikus sering menyuruh rakyatnya untuk memilih berdasarkan hati nurani. Jangan kamu kira ini adalah iktikad baik mereka. Mengapa demikian? Sebab hati nurani kita telah berhasil mereka manipulasi dengan sempurna. Dipertontonkan dengan aksi heroik yang biasa mereka lakukan ketika kampanye. Memberikan bantuan sana sini, berkunjung sana sini, bahkan siapa saja, secara tiba-tiba, di akuinya sebagai keluarga.
Betapa tidak tersentuh hati rakyatnya? Tentulah aksi-aksi pencitraan berbalut kepahlawanan seperti itu sangat membekas hingga ke relung hati nurani. Tipu daya yang sangat manjur untuk mengumpulkan pundi-pundi empati dari masyarakat, kemudian tertuang dalam bentuk dukungan lewat suara.
Padahal, harusnya masyarakat menjadi pemilih cerdas. Dan ketika bicara soal kecerdasan, Tentulah wilayah kerjanya ada pada akal, yang sehat. Tidak cukup hanya dengan hati.Â
Mengapa, para politikus, tidak menyuruh masyarakat memilih dengan akal sehat? Sebab saat masyarakat sudah mampu memilih dengan akal sehat. Sudah bisa dipastikan, mereka para politikus itu, akan menjadi bahan tertawaan banyak orang. Maksudnya? Kamu pasti sudah paham. Penghuni rumah sakit jiwa akan bertambah kuotanya.
***
MhalikParilele
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H