Kenapa ketika menyoal politikus harus pula mengikutkan kekecawaan rakyat? Karena kekecawaan rakyat merupakan sebuah respon sadar ketika menilai seorang politikus. Kalaupun tidak semua rakyat merasakan demikian, tapi bisa dipastikan jumlah barisan kekecawaan lebih besar ketimbang yang tidak. Saya kira ini sudah menjadi rahasia umum dalam kehidupan bermasyarakat kita.
Perasaan kekecewaan ini tentu tidak serta merta timbul dengan sendirinya. Ada beberapa sebab yang secara logis mengundangnya. Saya ingin menyampaikan salah satunya. Yaitu, pada umumnya kita jumpai bersama, diakibatkan karena kinerja yang dihasilkan tidak berbanding sejajar dengan janji yang diucapkan. Semasa kampanye, mereka hadir di tengah masyarakat layaknya seperti seorang malaikat. Sementara ketika terpilih, sontak terserang penyakit amnesia yang mulai lupa atas rakyatnya, bahkan mungkin (sengaja atau pura-pura) lupa pada janji-janjinya.
Maka tidak heran jika seorang politikus, memiliki gelar tambahan dari rakyatnya sebagai "Penebar Janji". Suka mengotori bibirnya sendiri dan telinga rakyatnya dengan menyebarkan janji yang tidak diniatkan untuk ditunaikan. Semata-mata dilakukan sebagai upaya menarik simpati untuk memperoleh suara agar bisa bertamasya di gedung-gedung mewah itu.
Memang seorang pekerja, sudah barang pasti ada sesuatu yang dikerjakan. Petani, menggarap tanah. Nelayan, mengolah air. Buruh, mengolah pabrik. Kesemuanya butuh tenaga yang super. Bagaimana dengan pekerja politik atau politikus? Tentu, ada juga yang mereka kerjakan. Pekerjaan mereka adalah mengolah lidah, mengumbar janji. Dan tentunya tidak terlalu menguras tenaga.
Dan hebatnya, para politikus sering menyuruh rakyatnya untuk memilih berdasarkan hati nurani. Jangan kamu kira ini adalah iktikad baik mereka. Mengapa demikian? Sebab hati nurani kita telah berhasil mereka manipulasi dengan sempurna. Dipertontonkan dengan aksi heroik yang biasa mereka lakukan ketika kampanye. Memberikan bantuan sana sini, berkunjung sana sini, bahkan siapa saja, secara tiba-tiba, di akuinya sebagai keluarga.
Betapa tidak tersentuh hati rakyatnya? Tentulah aksi-aksi pencitraan berbalut kepahlawanan seperti itu sangat membekas hingga ke relung hati nurani. Tipu daya yang sangat manjur untuk mengumpulkan pundi-pundi empati dari masyarakat, kemudian tertuang dalam bentuk dukungan lewat suara.
Padahal, harusnya masyarakat menjadi pemilih cerdas. Dan ketika bicara soal kecerdasan, Tentulah wilayah kerjanya ada pada akal, yang sehat. Tidak cukup hanya dengan hati.Â
Mengapa, para politikus, tidak menyuruh masyarakat memilih dengan akal sehat? Sebab saat masyarakat sudah mampu memilih dengan akal sehat. Sudah bisa dipastikan, mereka para politikus itu, akan menjadi bahan tertawaan banyak orang. Maksudnya? Kamu pasti sudah paham. Penghuni rumah sakit jiwa akan bertambah kuotanya.
***
MhalikParilele
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H