Mohon tunggu...
Gadis Penyuka Langit
Gadis Penyuka Langit Mohon Tunggu... -

simple girl and always want to know about anything :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Setengah Nyata

6 Desember 2014   03:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:56 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Editor : @erdidik

"Nomor HP kamu berapa, Wa?"

"Ini Pak," kuberikan kartu identitas lengkapku. "Namaku Dwi, biasa dipanggil 'Wi', bukan 'Wa', Pak. Hehehe..."

"Oh iya, hahaha... Maaf salah manggil, nanti saya telepon ya."

Allahu Akbar Allahu Akbar...

Lantunan Azan subuh berkumandang membangunkan aku dari mimpi panjang yang sangat nyata. Gigil subuh, mengajak diri untuh kembali utuh dengan membasuh muka dan berangkat sujud kepada Ilahi. Seandainya, aku punya kuasa untuk menyambung mimpi, aku akan melanjutkannya. Sungguh. Dan sebangunku yang masih dalam ambang kesadaran, aku mengira-ngira setelah itu apa yang terjadi ya.

Bulan keenam usai kejadian itu-saat di mana aku diam-diam menatap punggungmu dibalik rasa takut dan malu-ada kejadian yang tak terlupakan.

Hari itu tidak ada yang spesial. Hanya aku yang harus bergegas berangkat ke kantor karena tumpukan kerja yang belum kuselesaikan. Selain itu, ada jadwal kunjungan ke perusahaan yang paling aku benci. Dengan sebab aku benci, maka tentu ada alasanya. Ya, alasannya adalah aku kecewa karena kala itu aku ditugaskan untuk mengecek surat tawaran kerjasama dengan perusahaan lain yang sudah dari sebulan lalu aku tunggu-yang akhirnya tidak membuahkan hasil.

"Manajemen yang tidak becus!" keluhku dalam hati. "Kantor ini sangat besar, karyawannya ramai, belum lagi suasana kerja yang sangat nyaman dengan ruang-ruang yang ber-AC. Tidak ada yang kurang, namun mengapa lelet sekali pelayanannya!"

Dengan gontai aku melangkah kaki pergi. Terseret-seret kakiku dengan begitu malasnya aku masuk lagi dalam ruangan ini-suatu saat nanti. Apalagi harus bertemu dengan bapak beruban itu yang kata-katanya banyak menyimpan alasan entah: bapak masih diluar kota, Dik. Belum di-ACC, dan belum ada kabar lagi.

Tanpa memperdulikan dia, kubalikkan badan berniat lenggang pergi dari hadapannya. DEG... jantungku seakan berhenti berdetak. "Dia... lelaki dalam mimpiku tadi malam," gumamku dalam hati.

Mataku pun bertemu dengan pandangnya yang tajam di balik kaca mata kecilnya. Dengan sangat canggung, kusapa ia untuk pertama kalinya.

"Pak...," sapaku malu-malu.

"Eh Iyaa."

Sontak ia menyapaku balik dengan sunggingan senyum yang sangat aku rindukan. Ketika kejadian itu, yang terbesit dalam benak absurd-ku adalah aku ingin sekali mengabsen semua bidadara yang berada di atas langit sana. Aku kira ada satu bidadara yang hari itu ia bolos kerja. Dan dialah bidadara. Begitu manis senyumnya.

"Hai Dwi! Kamu ke sini pasti ingin bertemu dengan Bapak ya? Sabar Wi, bapak belum pulang dari Surabaya," jelas teman di sebelahnya yang membuat semua gambaran indahmu begitu buyar.

"Hmm Dwi" gumammu

"Baik Bang, kalau begitu aku pamit ya. Aku harus segera ngabarin sama orang kantor," sela ujarku yang buru-buru meminta pamit dari hadapan mereka.

Dalam langkah pulangku, yang kala itu aku harus menuruni anak tangga, di kepala ini begitu banyak pertanyaan: sebenarnya ini apa? mimpi atau  nyata?

Lututku bergetar, jantungku berdegup kencang dan aku membalikkan punggungku menjauh darinya. Belum sampai aku menuruni anak tangga, tiba-tiba dari arah kanan ada seorang perempuan yang menabrakku.

Braaaaaak.... "Maaf, Kak, saya terburu-buru." ujar perempuan itu yang telah menabrak tubuhku. Ia langsung saja bangun dari jatuhnya dan pergi, mengeyahkan aku yang kala itu tas dan lembaran-lembaran file-ku berhamburan. Suasana kala itu begitu memalukan, di mana semua pasang mata yang berada di kantor memandangiku. Tak juga lepas dari pandang dia. Kejadian itu sungguh seperti adegan dalam film-film drama. Melihat aku terjatuh, ia bergegas menolongku dan membereskan seluruh milikku yang berhamburan.

"Ini apa Wi?" tanyanya penasaran perihal file-ku.

"Menurut Bapak, apa?" ketusku.

"Eh, jangan ketus gitu, Dwi! Perempuan yang menabrakmu kan tidak sengaja."

"Iya Pak, hanya aku begitu kesal kepadanya."

"Gimana, bagian mana yang sakit, Dwi?"

"Alhamdulillah gak ada Pak. Terima kasih atas keperduliannya."

Entah saat itu aku merasa begitu kesal. Mengapa harus terjadi hal yang memalukan, kala kita begitu dekat. Bahkan saking dekatnya, aku bisa mencium aroma tubuhmu, melihat kebeningan bola matamu yang tersimpan di balik bingkai hitam kaca matamu. Hal itu sungguh di luar anganku. Juga bagaimana kepedulianmu hingga julur tanganmu mengisyaratkan untuk membangunkan aku dari telimpuhku. Setelah kuterbangun, tak ingin membuang waktu, aku membalikkan punggung dan menjauh pergi.

Sejujurnya, ingin lebih dari itu. Lebih dari sebuah jabat temu atau akrab sapamu. Dikenal dan diketahui apa pekerjaanku hari ini olehmu saja sudah kupanjatkan syukur terbaikku pada Tuhan. Mungkinkah hari ini seperempat doaku telah dihijabah. Tentu, saat menuliskan ini, aku begitu masih kental ingat betapa dalam matamu. Menatapku dengan mata kecoklatan. Dan jajaran alis yang rapat-rapat.

Rasanya, aku ingin segera menyudahi tulisan ini dan berangkat tidur yang kuniatkan untuk bermimpi lagi. Siapa tahu, Tuhan sedang memberikan humor lagi berbentuk mimpi jumpa denganmu. Jika iya, maka dalam mimpi aku ingin mengajakmu ke kota yang paling lenggang. Di sana tidak ada seorang dewasa pun selain kita dan anak-anak kecil yang riang bertelanjang kaki-lari girang ke sana-ke mari. Dan kau, mengajakku duduk di atas hijau rumput tebal, sambil menonton pemandangan indah dan menjabat erat tubuhku.

Ketika aku bermimpi demikian, aku beri permintaan kepada Tuhan untuk tidak bangunkan aku dalam jaga yang melelahkan.

September tahun ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun