***
Sampai Desember keenam ia masih setia dengan tulisan dan perasaan yang selalu ia jaga. Padaku. Entahlah. Sampai kapan perasaan itu akan kukuh di dadanya yang selalu terjal. Dan memintaku untuk menemuinya di tempat biasa kami bercerita. Wajahnya masih sendu seperti Desember lalu. Aku tersenyum ketika ia datang dan duduk di sisiku. Di sebuah kursi panjang yang berhadapan langsung dengan rel kereta yang lalu lalang di hadapan kami. Tanpa dialog ia pegang bahuku. Dan tanpa diminta aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Ia bercerita panjang lebar. Aku setia mendengarkannya tanpa bertanya dan mengomentarinya. Sesekali ia menatap wajahku sembari berkata, “Kamu masih sama seperti dulu, seperti bulan yang melahirkanmu. Selalu menjadi lagu dan puisi,” aku menanggapinya dengan senyum. Ia tahu bahwa aku sudah menjadi seorang yang tak lagi sendiri. Di rumahku seorang bidadari manis senantiasa menunggu kehadiranku.
“Eka, kamu tahu,” tiba-tiba ia berhenti bercerita dan menoleh padaku yang masih bersandar di bahunya. Ia menatap mataku dan aku juga menatapnya dengan lembut. “Aku tidak pernah bisa menjadi Anggraeni dalam ceritamu. Tetapi aku sudah menjadi Anggraeni di dadamu sebelum cerita itu kamu ciptakan.”
Jakarta, 141215
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H