Violetta. Namaku yang sering ia sebut sebagai nama yang puitis dan terdapat dalam sejarah. Ia juga sering berkata bahwa namaku adalah nama yang manis. Setiap menyebut namaku ia selalu teringat akan sebuah film yang pernah sekilas ditontonnya. Aku tidak pernah bertanya pada orang tuaku tentang namaku. Ia juga menyebutkan namaku adalah satu-satunya nama yang tidak pernah ditemui kecuali dalam sebuah film yang pernah sekilas ditontonnya. Ketika membaca namaku ia seakan membaca sebuah puisi yang dilanjutkan dengan bulan kelahiranku, juga hujan di bulan itu.
“Letta, sore ini ke tempat biasa,” suara itu menyelinap lewat gendang telingaku di tengah riuh angin di depan gedung tempat kami bersenda dan bergurau. Juga tempat kami mengenyam sebuah peradaban yang terkadang tidak kami dapatkan. Aku mengangguk. Dan ia menggenggam jemariku dan berjalan ke tempat biasa. Tempat yang selalu menjadi sebuah taman di tengah karut-marut kota yang semakin bising. Kami berjalan dalam diam. Sesekali ia bertanya apa yang aku dapat hari ini. Aku hanya menanggapinya dengan senyum dan jawaban sahaja.
“Letta. Dua tahun kita bersama. Apa tidak sebaiknya kita satukan rasa menjadi sebuah cerita nyata. Tanpa harus menunggu alur ditulis oleh pengarang cerita tersebut, tapi kita yang menciptakan alurnya,” tiba-tiba ia berkata sedemikian intimnya dengan wajahku. Ia menatap mataku tanpa mengedip. Aku menunduk dan melihat ke arah yang kosong. Aku tidak tahu harus menjawab dengan kata yang sepadan atau sebaliknya. Di dadaku hanya ada gelombang yang semakin menggerung ketika aku mencoba menahannya. Eka menghela napas dan melihat langit yang bisu. Aku gelisah tanpa kusadari. Tetapi ia menyadari kegelisahanku.
“Aku tidak memintamu untuk menjawab iya atau tidak,” seketika ia menatap bongkahan kegelisahan yang membeku di mataku. Aku kembali menunduk. Di dadaku nama Ekalaya menjadi sebuah gurun yang semakin lama semakin gersang. Sedang aku mencoba menjadi oase tetapi selau tertimbun oleh abu yang beterbangan. “Eka, aku belum mampu menadah rasamu. Aku masih ingin berjalan di antara gersangnya dadamu tanpa harus menggengan rasamu,” suaraku perlahan dalam hati.
Eka. Kita hanya sebuah kisah yang beralur pada jejak-jejak matahari dan bulan. Aku tidak sanggup menjadi bagian dari alur cerita itu. Aku akui. Di dadaku namamu selalu menjadi gemuruh. Tetapi aku tidak ingin gemuruh itu retak oleh kegusaranku sendiri.
***
Sejak sore itu kami memutuskan untuk membuat cerita yang berbeda. Sebuah cerita yang tidak mengalur pada rasa antara aku dan Eka. Kami berjalan di antara cerita yang diciptakan oleh kami. Aku membuat cerita tentang samudera yang membasahi gersangnya dadaku. Entahlah. Aku tidak tahu cerita apa yang akan dibuat oleh Ekalaya. Dan kami berjanji akan bercerita setiap Desember tiba di sebuah tempat yang kami suka, yaitu stasiun. Aku tidak tahu alasan Eka memilih stasiun sebagai tempat untuk menceritakan cerita kami.
Suatu hari Eka berkata bahwa di stasiun ada banyak hal yang membuat sebuah cerita menjadi lebih dari cerita. Aku tidak paham dengan perkataan itu. Tetapi Eka memahami ketidakpahamanku. Di sana akan kita temukan sebuah alegori yang beragam, katanya. Jika kamu mau menulis di sana, akan ada banyak sesuatu yang akan membuat tulisanmu disukai banyak orang, katanya kembali. Aku hanya menikmati setiap yang ia katakan. Sampai Desember kelima kami masih setia dengan cerita yang kami buat dan menceritakan di tempat yang sama.
“Eka, rasanya jalan ceritaku sudah mulai berbeda dengan jalan ceritamu.”
Sore itu aku yang memilih untuk menjadi yang pertama dalam bercerita. Eka mengangguk dan memberiku ruang untuk memulainya. Dengan dada yang berdebar aku mulai bercerita. Aku berharap Eka tidak kaget atau marah, bahkan menyesal dengan ceritaku saat ini. Perlahan aku bercerita tentang alur hidupku yang sudah ada pemeran lain dalam ceritanya. Ia berperan sebagai tokoh utama yang mengisi alur ceritaku setiap waktu. Mendengar ceritaku Eka hanya mengembuskan napas dalam-dalam. Ia tidak bertanya atau berkomentar mengenai ceritaku sampai aku selesai.
“Maaf, Eka. Aku tidak bisa menjadi Anggraeni dalam ceritamu,” itulah akhir dari ceritaku sore itu. Debar dadaku semakin tak menentu. Aku melihat Eka masih diam. Ia menoleh dan menatapku perlahan dan tajam. Aku semakin kelu. Mataku seakan nanar untuk menatapnya. Ia mengambil dan menggenggam tanganku. Dan berkata, “Letta, aku tidak pernah memintamu untuk menjadi Anggraeni dalam ceritaku. Aku tidak berhak untuk itu,” lalu ia memelukku di antara sore yang kian renta. Warnanya berubah menjadi merah dan lusuh. Sebab, gerimis mendekapnya dan membuatnya menggigil. Dan malam merenggutnya. Kami saling berpelukan di antara risaunya hujan yang kian berkecamuk. Sampai malam menjadi lagu dan lugu. Ia meminta kami pulang dan mendekap erat angin yang dihirupnya. Kami pun beranjak meninggalkan jejak hujan yang perlahan pudar. Menyisir gerimisnya yang bergerak parau.