Mohon tunggu...
M Giovanny Aulia Vikry
M Giovanny Aulia Vikry Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STIABI Riyadlul Ulum Tasikmalaya

Kreator

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Biografi KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

11 Januari 2023   11:00 Diperbarui: 11 Januari 2023   11:04 1859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

                                   

Gus Dur adalah nama yang sering terdengar di Indonesia. Mempunyai sikap yang humoris, demokratis, santai, dan humoris adalah karakter khas dari sosok Gus Dur. Sosok orang yang berpengaruh di Indonesia ini bukan hanya milik NU. Gus Dur mampu membawakan citra politik yang positif, bisa melampaui garis sektarianisme yang memang tetap hidup di dalam bernegara dan berbangsa.

 

KH. Abdurrahman Wahid yang biasa disapa Gus Dur, lahir di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 4 Agustus 1940. Wafat di umur 69 tahun di Jakarta, 30 Desember 2009. Beliau adalah pemimpin politik dan sosok tokoh muslim di Indonesia yang menjadi Presiden Indonesia keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Beliau menggantikan presiden sebelumnya yaitu B.J. Habibie yang dipilih langsung oleh MPR pada hasil pemilu pada tahun 1999. Mempunyai kabinet pemerintahannya yaitu Kabinet Persatuan Nasional. Saat masa kepemimpinan Gus Dur mulai pada 20 Oktober 1999 kemudian berakhir pada tahun 2001 saat sidang istimewa MPR. Pada tanggal 23 Juli 2001 Megawati Soekarno Putri menggantikan jabatan presidennya. Gus Dur merupakan mantan ketua dari Tanfidziyah (Badan Eksekutif) Nahdlatul Ulama (NU) dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Saat Muda

 Gus Dur lahir pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Beliau lahir dari pasangan KH. Wahid Hasyim dan Solichah. Banyak juga kepercayaan bahwa beliau lahir pada tanggal 7 September 1940, dengan kalender islam pada 4 Sya’ban.

 Abdurrahan Addakhil adalah nama beliau saat lahir. “Addakhil” mempunyai arti “Sang Penakluk”. Karena kata “Addakhil” tidak terlalu dikenal dan akhirnya diganti dengan nama “Wahid”, lalu nama ini lebih jauh dikenal menggunakan sebutan Gus Dur. “Gus” merupakan panggilan hormat untuk anak kyai pesantren mempunyai arti yaitu “abang” atau “mas”.

 

Keluarga Gus Dur memiliki status yang begitu terhormat di sebuah komunitas muslim Jawa Timur. Gus Dur merupakan anak sulung dari enam bersaudara. Kakek dari pihak ayah K.H. Hasyim Asy’ari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dari pihak ibu K.H. Bisri Syansuri, merupakan pendiri pondok pesantren di Denanyar, Jombang. Ayah Gus Dur K.H Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota di Badan Penyidik Usaha – Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ibunya Ny. Hj. Solichah merupakan putri dari pendiri pondok pesantren di Denanyar, Jombang.

  

Gus Dur pernah mengatakan kalau beliau mempunyai keturunan Tionghoa. Beliau merupakan keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, yaitu saudara kandung dari Raden Patah (Tan Eng Wa) Pendiri Kerajaan Demak. Tan Eng Hwa dan Tan A Lok adalah anak dari Putri Cempa, yaitu selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han adalah Syekh Abdul Qodir Al – Shini.

 

Gus Dur kecil mempunyai cita – cita untuk menjadi tentara. Namun, akan tetapi cita – cita tersebut berhenti di tengah jalan dikarenakan kegemarannya membaca Gus Dur harus memakai kacamata minus pada usia 14 tahun. Dalam perkembangan berikutnya, dia justru lebih meminati di bidang Ilmu Sastra, humaniora, filsafat, dan tentu saja agama. Selain membaca, beliau sangat menggandrungi sepakbola, catur, seni, dan bahkan nonton film.

 

Begitu tinggi kegemaran membacannya, dari Das Kapital karya Karl Marx, filsafat Plato sampai bermacam novel yang menjadikan menjadi sosok Gus Dur yang berwawasan luas, demokratis, dan inklusif.

 

Kegilaanya pada buku sempat pula membuat para temannya kagum. Karena Gus Dur mampu membaca buku – buku seperti filsafat Plato, Das Kapital nya Karl Marx, Thalles, novel – novel William Bochner, dan yang lainnya. Hal semacam ini tentu saja mengherankan sebab sedikit anak seusianya pada waktu itu yang memiliki hobi seperti Gus Dur.

 

Setelah menamatkan SD di Jakarta, tahun 1956 beliau melanjutkan Sekolah Menengah Ekonomi Pertanian di Yogyakarta. Agak bertolak belakang dengan kegemarannya membaca, prestasi sekolah Gus Dur tidak istimewa. Saat bersekolah di SMEP di Yogyakarta, nilainya pernah turun dan bahkan tinggal kelas. Penyebabnya, ia menyukai banyak hal yang tidak terkait dengan mata pelajarannya di sekolah, misalnya membaca dan menonton bioskop.

 

Dalam perkembangannya Gus Dur selalu mempelajari ilmu agama. Tampaknya cocok dengan cita – cita sang ibu yang ingin anaknya meneruskannya seperti sang kakek dan ayahandanya lakukan yaitu mengembangkan pesantrennya dan ilmu agama secara luas. Boleh jadi, bakatnya sebagai kyai handal, dimulai dari sini. Apalagi ditambah kemampuan Gus Dur yang pandai bicara.

Gus Dur muda merupakan sosok orang yang sangat rajin belajar apa saja. Menjadi santri di Pesantren Tegalrejo Magelang selama 3 tahun, beliau tetap ingin memperluas ilmu dari pesantren lain yakni dari Pesantren Denanyar Jombang, yaitu Pesantren kakeknya sendiri K.H Bisri Syansuri. Selama di Yogyakarta, beliau sempat belajar kepada K.H Ali Ma’sum, Krapyak. Ia juga sempat memperluas lagi ilmu agama selama kurang lebih 2 tahun di Pesantren Tegalrejo Magelang dengan bimbingan K.H Chudori. Setelah itu, Gus Dur menjadi santri Kyai Wahab Hasbullah di Pesantren Tambakberas, Jombang (1959 – 1963).

Pada saat di pesantren, banyak sekali waktu yang habiskan Gus Dur untuk belajar dari guru –gurunnya. Pagi – pagi beliau selalu mengaji dengan 3 kitab dengan bimbingan langsung oleh kyai pengasuh pesantren K.H Fatah. Disaat siang, beliau menimba ilmu kembali ke kyai lain seperti K.H Masduki, lalu dilanjutkan mengaji dengan kitab lain kepada ustadz sang kakek.

 

Dengan keuletan, kegigihan, dan ketekunan yang luar biasa membuat Gus Dur tampil berbeda dibandingkan dengan santri yang lain. Ditambah lagi dengan usianya yang masih muda tersebut, Gus Dur sangat fasih dalam penggunaan gramatika Bahasa Arab. Tentu saja hal ini membantu untuk melanjutkan kuliahnya di Mesir kelak.

 

Tahun 1944, Ayah Gus Dur terpilih sebagai ketua pertama di Partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Merupakan organisasi yang berdiri dan didukung oleh tentara Jepang yang sedang menduduki Indonesia saat itu. Pada tanggal 17 Agustus 1945, setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia, Gus Dur kembali pulang ke Jombang, dan menetap kembali sepanjang perang Indonesia dengan Belanda.

 

Pada tahun 1949 di akhir perang, Gus Dur kembali lagi ke Jakarta karena ayahnya ditugaskan untuk menjadi Menteri Agama. Gus Dur meninmba ilmu di Jakarta, kemudian masuk SD KRIS yang kemudian beliau pindah ke SD Matraman Perwari. Oleh ayahnya, Gus Dur diajarkan membaca koran, majalah, sampai buku non – Muslim guna memperluas lagi pengetahuannya. Gus Dur dan keluargannya tetap tinggal di Jakarta meski ayahnya sudah tidak menjabat Menteri Agama lagi. April 1953, ayah Gus Dur mengalami kecelakaan mobil dan akhirnya meninggal dunia.

 

Gus Dur melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertamanya di tahun 1954. Gus Dur tidak naik kelas pada tahun tersebut, sehingga ibunya mengirim Gus Dur ke Yogyakarta tersebut.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun